Ulasan oleh: Sawyer Martin French
Karya Noah Salomon For Love of the Prophet mengkaji
dinamika dalam negara Islam yang dikembangkan di Sudan setelah revolusi tahun 1989.
Buku ini memberi kontribusi yang sangat besar kepada bidang antropologi
politik, antropologi Islam, dan antropologi sekularisme. Buku ini menunjukkan bagaimana
negara moderen mengatur agama dan mempengaruhi masyarakat. Menurut Salomon, negara
hadir dalam banyak ranah kehidupan sosial, jauh dari badan-badan pemerintah
yang biasanya dianggap pusat dunia politik.
Dalam bagian pertama dari buku ini, Salomon
membahas sejarahnya negara moderen di Sudan dan bagaimana negara mengatur, membatasi,
dan turut membentuk agama. Bagian dua mengkaji tiga kasus unik di Sudan pada
tahun 2000-an yang menunjukkan bagaimana negara bisa hadir dalam dan mempengaruhi
berbagai macam bidang dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Dalam pendahuluannya, Salomon menjelaskan apa yang
ia maksud dengan “negara” (state) dan “ranah publik” (public sphere),
yang cukup berbeda dengan pengertian pada umumnya di bidang ilmu politik. Bukan
sekedar sesuatu yang bisa ditemukan dalam gedung-gedung lembaga pemerintahan
atau kementrian, negara juga bisa dipahami sebagai “aktor sosial dalam
kehidupan sehari-hari” (4). Terlepas dari fungsi tata negaranya (governance),
negara juga punya peran penting dalam “memproduksi ruang publik yang baru” (4).
Menurut Salomon, kalau diukur dari sifat pertama (governance), Sudan
memang termasuk negara yang gagal (failed state), karena tidak bisa
menjamin supremasi hukum dalam masyarakat dan butuh intervensi dari PBB untuk
menyediakan banyak layanan sosial. Akan tetapi, dalam arti yang kedua, negara
Sudan masih sangat kuat sebagai aktor sosial, dan terus mempengaruhi budaya dan
wacana sehari-hari di masyarakat. Negara lebih mempunyai hegemoni kultural
ketimbang supremasi hukum!
Dari argumen ini tentang peran sosialnya negara
dalam masyarakat, Salomon mengkritisi teori Habermas tentang “ranah publik.”
Menurut Habermas, ruang publik itu sebuah tempat untuk pertimbangan isu-isu (deliberation)
dan perdebatan antara aktor-aktor sosial yang “bebas” dari campur tangannya negara.
Ruang publik “di luar” (terlepas dari) pemerintah. Tapi bagi Salomon, ini
pendapat liberal yang sangat naif dan idealis, atas dua alasan. Pertama, di
mana memang tempat khayalan ini yang “di luar” negara secara utuh? Di sini
Salomon mengutip Timothy Mitchell tentan “efek negara” (state effect),
yang membuat kita semua merasa bahwa negara adalah sesuatu yang abstrak dan
jauh di sana, bukan terdiri dari aktor-aktor sosial sama seperti kita. Dan
kedua, tidak mungkin ada wacana yang “bebas,” yang tidak dipengaruhi oleh
kekuasaan. Di sini, Salomon merujuk kepada pengertian Michel Foucault tentang
wacana dan kekuasaan, yang memang terbentuk satu sama lain, tidak pernah bisa
lepas (10). Maka bagi Salomon, lain dari pemahaman Habermas itu, “ruang publik”
di Sudan merupakan zona di mana masyarakat bisa bertampil dan berdebat, tapi
wacananya senantiasa distruktur oleh negara dan aktor-aktor yang berpengaruh
yang lain (12).
Dari semua pembahasan dalam pendahuluan ini,
Salomon mengkritisi dua narasi yang sering diletakkan kepada Sudan. Pertama,
“negara gagal” (failed state), dan kedua, konsepnya Wael Hallaq bahwa
“negara Islam” itu “mustahil” (judul bukunya The Impossible State),
karena itu gabungan antara dua entitas (yaitu negara moderen dan syariat Islam)
yang terlalu jauh berbeda sifatnya dan tidak mungkin dipertemukan tanpa
mengorbankan jati diri salah satunya. Lain dari dua pendekatan ini, Salomon
menyatakan bahwa kita sebagai peneliti tidak bisa hanya melihat peran negara
dari segi supremasi hukum, karena dengan begitu kita mangabaikan perannya yang
juga sangat besar dalam mempengaruhi wacana dan budaya di masyarakat.
Dalam bagian pertama, yang terdiri dari dua bab,
Salomon menelaah sejarahnya bagaimana negara moderen di Sudan campur tangan (intervene)
dalam mengatur agama di masyarakat. Bab 1 membahas rezim kolonial Inggris, yang
pertama menjadikan negara sebagai pengatur agama, dan bab 2 menunjukkan bahwa
“negara Islam” yang didirikan oleh pasa Islamis dalam revolusi 1989 mewarisi
model ini dari negara kolonial, dan menggunakan aparat negara untuk membatasi
dan membentuk keagaamaan masyarakat sesuai dengan kepentingannya.
Pada pembahasannya tentang negara kolonial (bab
1), Salomon ikut mengkritisi teori “sekularisasi,” yaitu bahwa dengan
perkembangannya modernisasi dan kolonialisme, agama akan semakin menghilang
dari pemerintahan. Tapi sebenarnya, bukannya negara kolonial membiarkan dan
tidak campur tangan dengan agama, tapi malah “memaksakannya keluar dari
tempat-tempat yang gelap untuk mengatur dan menatanya dibawah pengawasan
negara” (33). Inggris takut dengan kaum Sufi, yang menurutnya tidak teratur,
rentan untuk menjadi radikal, dan tidak sesuai dengan ajaran Islam yang
“ortodoks” (yang mereka kenal dari al-Azhar di koloni sebelah) (39-40). Salomon
mencatat lucunya dan ironisnya bahwa penjajah non-Muslim punya pendapat tentang
bentuk Islam mana yang benar dan mana yang salah.
Maka pemerintah kolonial Inggris berusaha untuk
mengatur dan mereformasi keagamaan masyarakat dengan membentuk majelis ulama,
pengadilan-pengadilan syariat (bersama sekolah ke-qadi-an), dan masjid-masjid
besar di pusat kota sebagai saingan bagi pusat-pusat perkumpulan tarekat yang
di desa-desa, jauh dari pengawasan aparat (42). Dengan majelis ulama itu,
Inggris menggunakan kecamannya terhadap beberapa tarekat dan pengikut al-Mahdi
(figur revolusioner akhir abad ke-19) sebagai alasan untuk merepresi
kelompok-kelompok tersebut dengan kekerasan (47).
Bab 2 membahas bagaimana “negara Islam” yang
didirikan pada tahun 1989 turut campur dalam ranah agama dengan cara yang
sangat mirip dengan negara kolonial dulu. Rezim baru itu meluncurkan “Proyek
Peradaban” yang mempromosikan budaya Arab-Muslim lewat program-program kesenian
(madih, seperti salawatan), keilmuan, dan regulasi pakaian perempuan
(64-65). Dengan keadaan Islam menjadi agama resmi negara, minoritas agama
Kristen hanya diperbolehkan di dalam ruang pribadi (private sphere)
(66).
“Proyek Peradaban” ini digambarkan oleh rezim sebagai
kebangkitan Islam melawan perkembangannya sekularisme. Tapi Salomon menunjukkan
bahwa sebenarnya, masyarakat dari sebelumnya sudah sangat agamis. Hanya saja,
bentuk agama yang dianut oleh kebanyakan masyarakat (Sufisme dan Mahdisme, dan di kemudian hari Salafisme) tidak disukai oleh para elit partai Islamis (yang mirip dengan
Ikhwanul Muslimin di Mesir, atau PKS di Indonesia) (79-80). Maka rezim, sama
seperti Inggris dulu, berusaha mengatur dan mereformasi keagamaan masyarakat
menjadi lebih sesuai dengan visi dan kepentingannya. Bersama dengan
mempromosikan gaya keagamaan yang “moderen” dan individualis (tidak seperti tasawuf),
rezim mendirikan “Majelis Nasional untuk Zikir dan Zakirin (orang-orang yang berzikir),”
seperti Majelis Ulama zaman kolonial, untuk mengatur Sufisme dan mempromosikan
gaya keagamaan Sufi yang kurang terikat dengan tarekat-tarekat (yang ditakuti
oleh rezim sebagi ancaman terhadap kekuasaannya) dan lebih terpusat pada
spiritualitas pribadi (74-78).
Pada akhir bab 2 ini, Salomon menjelaskan bahwa
semua berubah pada tahun 2005 dengan perjanjian perdamaian dengan wilayah
selatan (yang sudah lama menjadi medan kekerasan antar-kelompok). Dalam rangka
perdamaian, rezim terpaksa meninggalkan model lama di mana minoritas-minoritas
dikuasai tanpa perwakilan, digantikan dengan model “multikulturalisme” (81),
disertai kampanye dari pemerintah yang menggalakkan toleransi antar-umat (85). Namun, bukannya rezim tidak lagi Islamis, hanya saja ada pergeseran dari penggunaan aparat negara dengan unsur paksaan (yang dianggap tidak sesuai dengan negara
multikultural) kepada program-program dakwah yang lebih lembut tapi tetap
sangat berpengaruh (90). Kembali ke konsep dari pendahuluan, negara tidak hanya
dilihat dari lembaga resminya, tapi juga dari perannya sebagai “aktor sosial”
dalam masyarakat.
Bagian kedua, yang terdiri dari tiga bab, membahas
dampak negara dalam wacana dan budaya di masyarakat, bersama unsur-unsur dalam
masyarakat yang tetap melawan Proyek Peradaban rezim ini. Bab 3 tentang proyek
“Islamisasi pengetahuan,” bab 4 tentang pengembangan genre musik Islami yang
dipromosikan oleh rezim, dan bab 5 tentang wacana dan kosakata politik, yang terjebak
di antara konsep-konsep moderen dan konsep-konsep dari tradisi Islam.
Bab 3 membahas proyek pembaharuan epistemologi (yaitu, ideologi tentang apa itu ilmu dan bagaimana itu bisa didapatkan), yang berusaha
mengIslamkan ilmu-ilmu sosial dan alam (yang dianggap terlalu sekuler) dengan kembali
kepada asas-asas (fundamental) pengetahuna dalam Islam (99). Kampanye ini
disebarkan terutama oleh kementrian baru untuk “Fundamentalisasi Pengetahuan” (ta’shil)
(102). Ini semua bagian dari upaya yang lebih besar untuk membangkitkan Islam dengan
dengan sebuah “pencerahan” (enlightenment) Islami yang mengatasi kekolotan dan
hirarki ulama-ulama tradisional dan memberdayakan seluruh umat untuk ikut serta
dalam pembelajaran dan penyebaran ilmu Islam (105). Tapi Salomon mencatat bahwa
kampanye ini bukannya menggantikan ilmu Barat dengan ilmu Islam secara total,
tapi lebih menggabungkan antara keduanya (103), karena elit-elit rezim Islamis
ini (para dokter dan insinyur) memang banyak yang berpendidikan tinggi di Barat
juga.
Dalam bagian kedua dari bab 3 ini, Salomon menjelaskan
bagaiamana epistemologi yang disosialisasi oleh rezim ini bertolak belakang
dengan epistemologi Sufisme yang umum di sebagian masyarakat. Di sini, Salomon
menjelaskan konsep-konsep dalam tasawuf seperti ilmu laduni, yang hanya dapat
diakses dari para wali, yang dipilih oleh Tuhan dan sering mewarisi status ini
lewat keturunan (114). Dalam sistem yang hirarkis ini, ilmu tidak terakses oleh
sembarang orang--berkebalikan dengan apa yang diinginkan pemerintah. Maka, kaum Sufi dianggap sebagai
kelompok yang tidak sesuai dengan proyek “pencerahan” ini. Akan tetapi, akhirnya
Salomon juga mencatat bahwa lama-kelamaan ada juga beberapa kelompok Sufi yang
mulai menggunakan bahasa pemerintah dalam wacananya (124).
![]() |
Noah Salomon |
Bab 4 membahas upaya dari pemerintah untuk
mempromosikan sebuah genre musik baru, yang liriknya diambil dari syair-syair
Sufi (madih, yang memuji nabi) tapi iramanya seperti musik pop. Ini
bagian dari pergeseran saat perjanjian perdamaian dengan wilayah selatan dari model
politik Islam yang berbasis kebijakan (seperti mewajibkan berjilbab) kepada
model yang lebih bersandar pada dakwah dan sosialisasi, yang oleh beberapa
pihak malah dianggap sebagai cara yang lebih efektif untuk mengIslamkan
masyarakat (148). Lagu-lagu Sufi-pop ini, yang disiarkan lewat stasiun radio
baru, merupakan sebuah proyek negara yang menggunakan dakwah estetis (aesthetic)
yang bertujuan supaya masyarat bertambah rasa cintanya kepada nabi (mahabba)
karena sering dengar lagu-lagu tersebut (128).
Bab ini merujuk kepada karya Charles Hirschkind (2006) yang menjelaskan bagaimana kegiatan mendengar kaset ceramah (pious
listening) bisa menjadi bagian penting dalam upaya seseorang untuk
mengembangkan ketaatan dan takwanya. Salomon menambah bahwa ini bukan sekedar
sesuatu yang sering dilakukan oleh orang-orang Muslim secara pribadi, tapi rekaman
dan pendengaran (lewat radio) juga bisa menjadi alat negara (technology of
the state) untuk berusaha meningkatkan ketaatan masyarakat (133).
Di sini, Salomon juga mencatat perbedaan antara genre
Sufi-pop baru ini dengan gaya syair madih yang asli. Ada orang-orang Sufi
yang mengkritisi musik ini karena pendengarnya tidak punya perhatian yang penuh
terhadap madih-nya, tidak ikut melafalkan dan bergerak seperti dalam kumpulan-kumpulan
tarekat, hanya menjadi audio latar belakang kehidupan di bis dan di toko (141).
Pada segi lain, para penggerak genre baru ini mengatakan bahwa lagu-lagu
moderen ini lebih memberi kesempatan bagi pendengarnya untuk betul-betul
memperhatikan arti liriknya. Menurut mereka, waktu-waktu sela di kehidupan
kota (seperti menunggu di bis atau di toko) lebih sesuai dengan pendengaran
lirik syair ini daripada kumpulan Sufi yang cenderung ramai dan tak teratur (145).
Maka kita bisa lihat pergeseran dari fokus tradisional pada pengalaman
spiritual saat mendengar kepada fokus moderen pada pemahaman dan perenungan
arti liriknya (146).
Dalam bab 5, Salomon membahas kerangka konseptual
politik yang dikembangkan oleh rezim negara Islam sejak 1989, yang legitimasinya
berdasarkan agama Islam. Lalu, ia menjelaskan bahwa rezim tentu saja tidak punya
monopoli atas penafsiran dan pemahaman agama, jadi kerangka politik ini memberi
ruangan bagi pihak-pihak lain untuk mengklaim otoritas yang lebih daripada yang
dipunyai pemerintah (169-170). Di sini, Salomon tidak membahas perlawanan
terhadap pemerintah secara tersurat, melainkan ia mengangkat wacana dan praktek
keagamaan sebagai medan yang sebenarnya sangat penuh dengan makna politis.
Untuk poin ini, ia merujuk kepada Ruth Marshall (2009), yang pernah mendorong penelitian
sosial untuk mengakui perannya kehidupan beragama sebagai “sebuah cara untuk menampilkan
dan menentang kekuasaan” (172). Salomon memberi dua contoh dari penelitiannya
di Sudan, yaitu dari kaum Sufi dan kaum Salafi.
Salomon memberi contoh dari dunia tasawuf dalam
bentuk sebuah cerita yang sudah pernah berkali-kali dari narasumbernya. Dalam
cerita itu, legitimasi berkuasa tidak digambarkan secara biasa dengan kosakata
politik moderen, tapi tergantung pada status kesucian (thahir atau najis)
dua orang, yaitu presiden Sudan dan seorang syaikh Sufi yang besar. Berdasarkan
bahasa dan konseptualisasi politik yang sangat berbeda ini, cerita itu menunjukkan
bahwa sebenarnya syaikhnya yang lebih berotoritas menurut standar Islam
daripada (166). Pada segi lain, kaum Salafi menggugat otoritas pemerintah dengan
menekankan bahwa isu paling mendasar dalam perpolitikan bukanlah kuasa atau
negara atau hak (semua yang dianggap konsep barat), tapi aqidah dan ibadah
(185). Dalam dua kasus ini, Salomon menunjukkan bagaimana otoritas negara dapat
dipertanyakan dengan menggunakan dua tuduhan (bahwa penguasa tidak sah wudhunya
dan tidak lurus aqidahnya) yang biasanya tidak dianggap politis, tapi dalam
konteks ini punya makna yang sangat politis.
Bagian terakhir dari buku ini hanya terdiri dari epilog,
yang membahas dua alternatif bagi model “negara Islam” yang baru muncul dalam
dekade terakhir. Pertama, ISIS dan orang-orang Sudan yang mendukungnya mengklaim
bahwa proyek negara Islam di Sudan jelas sudah gagal. Mereka mengkritik model Islamisme
lama seperti Sudan sejak 1989, di mana partai Islam menguasai aparat
pemerintahan negara moderen dan mengIslamkannya dari atas. Menurut mereka,
lebih baik ambil contoh dari ISIS, yang menghancurkan struktur negara warisan
barat dan membangun pemerintahan yang Islami untuk menggantikannya, padahal
lama-kelamaan banyak struktur yang dibangun oleh ISIS yang sama seperti aparat
negara moderen (202). Para elit rezim Islamis di Sudan merasa sangat terancam oleh
wacana ini, dan Salomon menunjukkan bahwa mereka mulai lebih menekankan hirarki
keilmuan, dan menuduh ISIS sebagai kelompok yang tidak cukup berilmu untuk
memahami agama. Padahal wacana ini bertolak belakang dengan proyek “Islamisasi
pengetahuan” yang kita lihat di bab 3, di mana rezim ingin menyebarkan otoritas
ilmu keagamaan ke seluruh masyarakat dan meminggirkan peran ulama tradisional (2017).
Semakin terlihat kontradiksi-kontradiksi dalam wacana politik Islamnya rezim.
Alternatif baru yang kedua adalah negara sekuler,
seperti dibangun di Sudan Selatan sejak pemisahannya pada tahun 2011. Di sini, di
mana Islam menjadi minoritas di bawah mayoritas Kristen, negara berusaha
membangun sistem sekuler dengan model Amerika Serikat, di mana ruang publik
menjadi bebas beragama tanpa campur tangan dari negara. Tapi ironisnya, untuk
menuju tujuan ini, negara sengaja berusaha menghilangkan banyak atribut-atribut
Islam dari ruang publik (seperti menghilangkan masjid-masjid) untuk melawan
Islamisasi yang telah dilakukan selama bertahun-tahun di bawah rezim Sudan
(210). Lagi-lagi kita melihat sekularisme, yang mengaku netral terhadap agama,
turut campur dalam urusan agama di masyarakat (212).
Salomon menyelesaikan bukunya dengan beberapa
halaman di mana ia berhenti menulis secara analitis dan mulai bicara secara
normatif untuk mencari solusi. Tentu saja ia tidak melihat kedua alternatif yang
tadi (ISIS dan sekularisme) sebagai solusi yang baik bagi dilema kegagalan
negara Islam di Sudan. Ia menyimpulkan bahwa mungkin masalah utama bukan dengan
ideologi (Islamisme atau sekularisme), tapi dengan struktur pembentukan
negara-negara moderen dan caranya menguasai komunitas-komunitas yang di
bawahnya. Ia berharap bahwa kita bersama-sama mungkin akan dapat membanyangkan
(sebelum membangun) sistem baru yang tidak terpusat pada kekuasaan negara (sovereignty)
dan memberi otonomi kepada komunitas-komunitas untuk mengatur kehidupannya
sendiri (215).
Kesimpulan ini menunjukkan bahwa Salomon mengikuti
Talal Asad (2015) yang pernah mengatakan bahwa tujuan yang paling mulia dari
kajian antropologis sebenarnya adalah untuk mengkritisi keadaan yang sudah
dominan pada zaman sekarang (destabilize the present) untuk mencari jalan
keluar yang lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar