Ulasan oleh: Muhamad Rofiq Muzakkir
Secara umum ada dua pendekatan dalam mengkaji Syariah sebagai obyek
penelitian, yaitu: pertama, pendekatan normatif; kedua, pendekatan sejarah.
Pendekatan normatif dilakukan untuk mengkaji doktrin, mencari norma
hukum baru, atau mengevaluasi norma hukum lama. Sedangkan pendekatan sejarah
dilakukan dalam rangka melihat proses formasi, evolusi, dan transformasi
doktrin atau institusi hukum Islam.
Di luar dua pendekatan arus besar ini, ada satu pendekatan baru
yang muncul dari dunia akademia di Barat. Pendekatan yang dimaksud adalah
pendekatan antropologi.
Pendekatan ini dicanangkan pertama kali oleh Talal Asad,
antropolog ternama dari Amerika Serikat. Pada tahun 2003, Asad menerbitkan buku
yang berjudul Formations
of the Secular: Christianity, Islam, and Modernity.
Sub judul “Secularization” dalam buku tersebut mengkaji proses
reformasi dan modernisasi hukum Islam di Mesir yang dipimpin oleh Muhammad
Abduh saat ia menjadi mufti dan menjelaskan dampaknya pada corak hukum Islam.
Argumen inti Asad dalam
buku tersebut adalah modernisasi hukum Islam yang dilakukan oleh kelompok
pembaru sesungguhnya telah menyebabkan terjadinya sekulerisasi syariah, di mana
domain hukum
dan domain etika menjadi terpisah.
Di kemudian hari, pendekatan yang digulirkan Asad ini banyak
diikuti oleh sarjana lain, baik kalangan antropolog maupun sarjana hukum Islam
secara umum.
Di antara antropolog yang mengikuti model Asad dalam mengkaji
Syariah adalah Brinkley
Messick, prefesor di Universitas Columbia, New York.
Selain sebagai seorang antropolog, ia juga dikenal sebagai sarjana
paska kolonial dan ahli hukum Islam. Untuk bidangnya yang terakhir, dapat
dikatakan bahwa wawasan Messick sesungguhnya jauh melampaui Talal Asad.
Tulisan-tulisan Messick lebih mengakar pada turāst (warisan
intelektual Islam klasik) dibandingkan Asad.
Asad mungkin lebih tepat jika disebut generalis. Konsennya cukup
luas, yaitu antropologi Kristen dan Islam. Tulisannya tentang Syariah pun hanya
mengkaji karya tokoh-tokoh modern.
Sedangkan Messick bisa disebut spesialis. Ia hanya menulis tentang
antropologi Islam dengan cakupan spesifik, yaitu tradisi Syiah Zaidiyyah yang
berdomisili di Yaman.
Messick sangat memahami warisan intelektual mazhab ini, khususnya
dalam bidang hukum Islam. Bukunya Sharī’ah Script: A
Historial Anthropology (terbit tahun 2018) yang akan dibahas dalam
tulisan ini, menjelaskan tentang teks-teks hukum Islam dalam mazhab Zaidiyyah
sejak abad ke-15 sampai abad ke-20 Masehi.
Dimensi Hukum Buku Messick
Di dalam Sharı̄ʿa Scripts, Brinkley Messick menganalisa
pelaksanaan hukum Islam, khususnya mazhab Zaidiyyah di suatu daerah bernama
Ibb, di Yaman selatan.
Messick menyebut penelitiannya sebagai karya antropologi sejarah (historical
anthropology), karena yang ia kaji adalah pelaksanaan hukum Islam di masa
lalu, yaitu kurun waktu antara awal abad dua puluh sampai sebelum terjadinya
revolusi yang merubah lanskap politik Yaman tahun 1962.
Messick memilih untuk memotret kota Ibb karena ini adalah satu dari
sedikit kawasan di dunia Islam yang tidak jatuh ke tangan penjajah. Sehingga
sistem sosial, budaya, termasuk hukumnya, masih relatif murni dari intervensi
sistem modern Barat.
Kehidupan sehari-hari masyarakat kota Ibb berlangsung secara
tradisional berdasarkan ketentuan fikih mazhab Zaidiyyah. Ini berbeda dengan
kawasan Yaman Utara yang berada di bawah kontrol Dinasti Ottoman. Sehingga
sistem sosialnya bercorak lebih modern.
Dengan memfokuskan diri pada kota Ibb, Messick ingin melihat
bagaimana sistem hukum berjalan secara organik tanpa adanya unsur modernisasi.
Ini ia lakukan bukan untuk mengeksotifikasi atau memprimitisasi masyarakat
tradisional sebagaimana dilakukan oleh para antropolog Barat generasi awal.
Sebagai teoretikus paska kolonial, konsen Messick justru adalah
untuk menunjukkan bagaimana sistem hukum tradisional berjalan lebih efektif di
banding sistem modern dalam mengatur masyarakat.
Karya Messick sebelumnya, The Calligraphic
State, memiliki karakter yang berbeda. Melalui pendekatan antropologi,
dalam buku tersebut Messick menjelaskan bagaimana modernitas dan sistem hukum
yang datang bersamanya telah merusak efektitas pelaksanaan hukum Islam di
tengah masyarakat Yaman.
Kembali ke Sharī’a Script. Dalam mengkaji pelaksanaan
hukum Islam pada tingkat lokal, Messick tidak menggunakan cara konvensional
dalam antropologi, yaitu dengan mengamati praktek keseharian masyarakat untuk
kemudian melakukan “thick description”. Tetapi ia melakukannya dengan
cara menganalisa teks-teks hukum Islam di mazhab Zaidiyyah yang digunakan dalam
kehidupan keseharian masyarakat Ibb.
Secara prinsipil, buku Messick ini adalah kajian mengenai
inter-relasi teks hukum atau bagaimana satu teks hukum berhubungan dengan teks
hukum yang lain. Inter-relasi atau hubungan antara teks hukum tersebut menurut
Messick menyediakan informasi penting mengenai karakter dan proses berjalannya
hukum Islam di tengah masyarakat.
Dengan kata lain, yang dilakukan oleh Messick dalam buku ini adalah
mengkaji indigenisasi hukum Islam.
Messick membagi teks hukum Islam yang menjadi sumber penelitiannya
menjadi dua kategori umum, yaitu apa yang ia istilahkan sebagai ‘perpustakaan’
(library) dan ‘arsip’ (archive).
Kategori perpustakaan terdiri dari empat jenis teks hukum, yaitu:
(1) kitab matan fikih, (2) kitab syarah fikih, (3) kitab fatwa, dan (4) kitab
ikhtiyarat yang memuat kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Imam (pemimpin
politik) mazhab Zaidiyyah.
Untuk kitab matan fikih, Messick memilih satu kitab induk karangan
Ahmad al-Murtada (w. 840 H/1437 M) yang berjudul Kitāb al-azhār fī fiqh
al-aimma al-aṭhār.
Sementara untuk kitab syarah, ia menganalisa banyak kitab,
diantaranya untuk menyebutkan salah satunya adalah karya Ibn Miftah (w. 876
H/1472 M) yang berjudul al-Muntazaʿ al-mukhtār min al-ghayth al-midrār.
Ia juga menganalisa karya-karya Muhammad al-Shawkani (w. 1250
H/1834 M), ulama Zaidiyyah yang pemikirannya banyak mengikuti pemikiran Sunni.
Menurut Messick, ‘perpustakaan’ memiliki satu karakter inti, yaitu
sifatnya yang kosmopolitan dan translokal (tidak terikat dengan ruang dan
waktu). Cara literatur ini menjelaskan satu kasus fikih adalah dengan memilih
ekspresi universal yang memungkinkan ia digunakan secara kontekstual pada ruang
dan waktu manapun.
Literatur ini misalnya menghindari untuk menyebutkan nama dan
tempat tertentu yang berkaitan dengan satu kasus fikih yang dapat mengurangi
sifat universal hukum yang dikandungnya.
Kategori ‘arsip’ terdiri dari beberapa jenis teks hukum, yaitu
catatan pengadilan seperti laporan (syakwā) dan putusan hakim (ḥukm),
dan dokumen atau catatan personal warga Ibb terkait muamalah dan nikah atau
fikih secara umum.
Teks hukum dari kategori ini memiliki karakter yang bertolak
belakang dengan ‘perpustakaan’. ‘Arsip’ selalu bersifat sirkumstansial dan
vernakular atau terikat dengan ruang dan waktu.
‘Arsip’ adalah suatu dokumen yang merekam aktivitas fikih tertentu
yang bersifat personal atau dokumen yang menjawab satu masalah fikih yang
bersifat kasuistik.
‘Arsip’ adalah manifestasi bagaimana doktrin fikih Zaidiyah dalam
kitab matan, syarah, fatwa dan ikhtiyarat imam diterjemahkan menjadi praktek
lokal.
Dengan kata lain, ‘arsip’ adalah produk dari proses lokalisasi
aturan dalam mazhab fikih yang terkandung dalam ‘perpustakaan’.
Dalam buku ini, Messick tidak melihat dua jenis teks hukum Islam di
atas sebagai entitas yang terpisah, melainkan bagaimana dua kategori teks
tersebut berhubungan satu sama lain. Messick mengajukan pendekatan ini sebagai
alternatif dari dua pendekatan sejarah yang umum digunakan dalam meneliti hukum
Islam.
Pendekatan pertama dilakukan oleh para orientalis yang mengkaji
hukum Islam hanya dari sudut pandang kitab-kitab fikih induk. Mereka tidak
melihat praksis penerapannya pada aras lokal.
Konsekwensi dari pendekatan ini adalah lahirnya cara pandang yang
reduktif terhadap fikih Islam. Joseph Schacht misalnya mengatakan fikih
mengandung hukum utopis karena tidak menjawab permasalahan ril masyarakat.
Kelemahan ini, menurut Messick, lahir karena sarjana seperti Schacht
mengabaikan sumber-sumber hukum aplikatif.
Pendekatan kedua diambil oleh para sejarawan sosial. Mereka melihat
hukum Islam dari sudut pandang dokumen-dokumen praktis yang memiliki karakter
sirkumstantial dan vernakular, seperti putusan pengadilan.
Kepentingan para pengusung pendekatan ini adalah untuk
merekonstruksi sejarah sosial, seperti untuk melihat struktur keluarga dan
sistem transaksi ekonomi masyarakat muslim. Mereka mengabaikan persoalan teori,
nalar, dan argumentasi hukum.
Kelemahan dari pendekatan ini adalah ia menyebabkan hukum Islam
terkesan hanya sekedar produk dari lanskap sosio-kultural saja, bukan lahir
dari suatu sistem diskursif yang komprehensif dan canggih.
Messick menggabungkan dua pendekatan ini untuk melihat bagaimana
dua sumber hukum Islam tesebut berdialektika.
Ia melihat bagaimana kitab-kitab induk dikomentari, dihafal,
disalin, sampai kemudian dikutip oleh para praktisi hukum di tingkat lokal.
Penelitian Messick bahkan melihat sampai kepada tingkat yang paling teknis dari
hubungan antara kitab, yaitu teknik pemberian komentar dan pengutipan oleh para
praktisi hukum.
Dimensi Antropologis Buku Messick
Dari narasi penulis di atas, kesan yang muncul di pikiran pembaca
adalah buku Messick ini sangat kental dimensi hukumnya. Pertanyaan yang mungkin
mengemuka adalah bagaimana mengkategorikan buku ini, yang lebih merupakan
kajian teks, sebagai karya antropologi?
Pertanyaan ini cukup wajar mengingat bahwa antropologi selama ini
identik dengan metode observasi lapangan (field work) dan
etnografi. Clifford
Geertz bahkan mengatakan bahwa tugas antropolog adalah melakukan “thick
description.”
Namun demikian, mengutip Talal Asad, antropologi tidak bisa
dipersempit hanya sebagai metode atau teknik riset. Lebih dari sekedar metode,
antropologi sebenarnya adalah disiplin ilmu yang melakukan pengkajian
sistematis terhadap konsep-konsep kebudayaan (systematic inquiry of cultural
concepts).
Brinkley Messick atau Talal Asad bukanlah sarjana pertama yang
berusaha untuk keluar dari pandangan sempit mengenai antropologi ini.
Pandangan alternatif sebenarnya sudah diungkapkan oleh Marcel Mauss
pada dekade 1920-an dan kemudian diteruskan oleh Mary Douglas.
Namun demikian, pandangan ini baru menjadi semacam turn dan trend sendiri
setelah naiknya popularitas Talal Asad.
Hampir semua karya antropologi tokoh ini, dengan pengecualian
disertasinya yang ditulis di bawah bimbingan Evan Pritchard, tidak ditulis
dengan data dari penelitian lapangan. Semuanya berasal dari kajian pustaka.
Tren ini kemudian dilanjutkan oleh Saba
Mahmood, murid Talal Asad yang populer karena kajiannya mengenai
antropologi feminisme dan sekulerisme.
Sama seperti mentornya, semua karya Mahmood, selain disertasinya,
ditulis berdasarkan penelitian pustaka.
Karya terbarunya yang terbit sebelum ia wafat, Religious
Difference in a Secular Age yang meneliti problem toleransi
di Mesir, bahkan memanfaatkan sumber unik berupa novel, arsip-arsip negara, dan
undang-undang lintas negara untuk melakukan kajian antropologi.
Dengan demikian, yang menentukan sebuah karya menjadi bercorak
antropologis bukanlah semata-mata metodenya, tetapi, mengutip Mahmood, “moda
analisa yang dilakukan terhadap bentuk kehidupan yang berbeda-beda”.
Tugas antropologi juga tidak sekedar memahami (understanding)
seperti selama ini diyakini secara konvensional, tetapi melakukan pembandingan
(juxtaposing) konsep dan bentuk kebudayaan yang berbeda-beda tersebut.
Analisa komparatif terhadap bentuk kebudayaan ini dapat dilakukan
dengan penelitian lapangan, kepustakaan, termasuk kajian filologis terhadap
teks-teks klasik.
Asad dan Messick bahkan berpendapat, jika dalam konteks antropologi
secara umum, kajian teks adalah suatu alternatif, maka dalam konteks
antropologi Islam, ia adalah suatu keharusan.
Kajian teks dilakukan dalam rangka untuk melihat moda penalaran (mode
of reasoning) atau cara berfikir (way of thinking) umat
Islam yang berbasis tradisi masa lalu. Kedua orang antropolog secara implisit
mengatakan bahwa karya antropolog Islam tidak akan bisa disebut baik, jika ia
mengabaikan dimensi teks ini. Terkait hal ini, Messick menulis:
“I maintain that close attention to textual form ought to be a precondition for wider research” (Saya berpendapat bahwa perhatian serius terhadap kajian teks seharusnya menjadi syarat awal untuk riset yang lebih luas).
“I maintain that close attention to textual form ought to be a precondition for wider research” (Saya berpendapat bahwa perhatian serius terhadap kajian teks seharusnya menjadi syarat awal untuk riset yang lebih luas).
Messick sendiri mengkritik disiplin antropologi yang dalam
sejarahnya sempat mengalami satu putaran di mana studi teks dan filologi
ditinggalkan.
Franz Boas, bapak antropologi Amerika, misalnya mendefinisikan
antropologi sebagai studi tentang masyarakat yang tidak punya kemampuan baca
tulis. Dengan kata lain, antropologi menurutnya adalah ilmu untuk mengkaji
masyarakat primitif yang mengandalkan pada budaya oral.
Atensi yang berlebihan pada budaya oral inilah, kata Messick, yang
pada akhirnya membuat disiplin ini kehilangan kapasitas untuk membaca
sumber-sumber penelitian tertulis.
Kembali ke pertanyaan awal, apa yang membuat buku ini disebut
sebagai karya antropologi? Ada tiga jawaban untuk pertanyaan tersebut.
Pertama, karena konsen kajian Messick adalah proses lokalisasi hukum Islam
atau tepatnya bagaimana hukum Islam diterapkan pada level daerah bernama Ibb di
Yaman Selatan. Sifat kajian antropologi sendiri adalah penekanan pada aspek
lokal dan partikular.
Kedua, karena Messick berdialog dengan teori-teori antropologi. Messick
misalnya menyebut bahwa Syariah adalah total discourse, sebuah
istilah yang mengingatkan kita pada pandangan antropolog fungsionalis dari Perancis,
Marcel Mauss.
Messick melanjutkan bahwa sifat totalitas dari Syariah yang
mencakup seluruh aspek kehidupan, hanya ada pada periode sebelum modernitas.
Paska mengalami modernisasi, Syariah menjadi menyempit, digantikan oleh peran
negara.
Selain itu, pada era pra-modern, hukum Islam tidak bisa dipisahkan
dari etika. Namun setelah memasuki zaman baru, keduanya menjadi entitas yang
terpisah. Hukum tidak harus membawa nilai-nilai etis.
Ketiga, sekalipun lebih bercorak filologis, Messick juga sebenarnya tidak
meninggalkan riset etnografi. Messick sudah melakukan penelitian lapangan ke
Ibb sejak tahun 1970-an, ketika ia memulai proyek disertasinya.
Melalui observasi lapangan yang ia lakukan, Messick dapat memahami
bagaimana kondisi geografis yang terdiri dari pegunungan dan sawah tadah hujan
membentuk karakter sosial budaya masyarakat Ibb.
Kondisi geografis ini pada akhirnya membentuk corak penerapan hukum
Islam yang unik. Kasus-kasus yang mengemuka di pengadilan Syariah, konflik
agraria, dan masalah hukum lain yang direkam dalam arsip hukum, sangat
ditentukan oleh kondisi fisik dari kota Ibb.
Lebih dari pada sekedar upaya memahami dimensi material dari hukum
Islam, Messick melakukan penelitian lapangan untuk menjumpai para ulama dan
para fungsionaris hukum secara umum untuk belajar langsung fikih Zaidiyyah.
Ia misalnya mengamati sistem madrasah tempat di mana teks-teks
hukum diajarkan dan dihafal. Ia juga mengamati bagaimana bentuk dan sistem
pengadilan Syariah. Dari sinilah pemahamannya mengenai operasionalisasi hukum
Islam menjadi terkonfirmasi.
Buku ini sangat penting dibaca, terutama oleh para dosen dan
mahasiswa dari dua disiplin ilmu, yaitu antropologi dan hukum Islam.
Pada ranah hukum Islam, buku ini menyajikan informasi mengenai
tradisi intelektual mazhab Zaidiyyah yang kaya dan selama ini kurang menjadi
perhatian para peneliti.
Pada ranah antropologi, buku ini memberikan sumbangsih teoretis
yang sangat siginifikan, terutama mengenai pentingnya menganalisaa tradisi
tertulis (textual tradition).
Hanya saja, kelemahan buku ini adalah sifatnya yang sangat
teknis-teoretis dan padat. Pada bagian pengantar misalnya ia menjelaskan
tentang bagaimana ia melakukan analisa terhadap metode pengutipan oleh teks
hukum ‘arsip’. Ia menjelaskan ini dengan teori composition, modeling,
dan textual habitus.
Bagian yang penulis pertanyakan dalam buku ini adalah ketika
Messick memasukkan fatwa dan ikhtiyarat ke dalam kategori ‘perpustakaan’ atau
teks hukum yang bersifat kosmopolitan.
Hemat menulis, fatwa dan ikhtiyarat sesungguhnya lebih pas
dikategorikan sebagai ‘arsip’, karena sifatnya yang sirkumstansial. Mengutip
pernyataan Ibnul Qayyim dalam I’lām al-muwaqqi’īn, “al-fatwā
yataghayyar bi taghayyur al-zamān wa al-makān” (fatwa dapat mengalami
perubahan sesuai dengan perubahan waktu dan tempat).
Terlepas dari dua hal kecil ini, buku ini penting sangat
kontributif dan penting untuk dibaca. Terutama untuk mengikuti bagaimana studi
hukum Islam dan antropologi terus mengalami dinamisasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar