(Tulisan ini pernah dimuat sebelumnya di islamsantun.org)
Menyakitkan memang menemani belajar mahasiswa di
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam tapi buta masalah ekonomi (Islam). Bagaimana
saya mau paham, wong ngajarnya saja Metodologi Studi
Islam, mata kuliah hore yang akan dilupakan mahasiswa FEBI
begitu menginjak semester tiga. Setelah menghabiskan beberapa purnama untuk
berfikir bagaimana memantaskan diri jadi dosen di FEBI, akhirnya saya pun
memutuskan melihat agama dengan logika ekonomi.
Memasuki Ramadan tahun ini, saya memberanikan diri
tadarus buku terbaru Francois Gauthier, Religion Modernity
Globalisation: Nation-State to Market (2020). Buku ini menarik paling
tidak karena tiga hal. Pertama, Gauthier ingin melampaui model
analisis Finke tentang religious economy. Kedua, dia
menyinggung Indonesia sebagai sebuah kasus. Ketiga, buku ini
termasuk salah satu buku terlengkap yang secara metodologis mengkaji agama dari
sudut pandang market ‘pasar’. Tulisan ini hanya akan
mendiskusikan yang pertama saja.
Jamak sebelumnya di belantika sosiologi agama,
Stark dan Finke menjadi idola bagaimana melihat agama dengan analisis supply-demand.
Penganut madzab ini tentu akan dengan riang menyebut Acts of Faith:
Explaining the Human Side of Religion (2000) sebagai buku babon
mereka. Besutan Stark dan Finke ini merangkum dengan komprehensif
bagaimana religious economy dikupas tuntas mulai dari basis
ontologis, ancangan epistemologis dan detail premis-premisnya. Tapi
karena mumet, saya urung membuka buku tersebut.
Saya lebih tercerahkan dengan membabibuka
artikel-artikel Supply-Side Explanations for Religious Change (1993), Religious
Choice and Competition (1998), dan The Dynamics of Religious
Economies (2003). Artikel-artikel ini mengobati rasa dahaga saya
tentang bagaimana pendekatan supply and demand memproduksi rational
choice theory (RCT). Kelahiran teori ini sebenarnya tidak dapat
dipisahkan dari perubahan fenomena agama, khususnya gereja, di Amerika sejak
abad ke-18. Akan tetapi, karena memiliki cakupan aplikasi global, teori
tersebut kemudian banyak digunakan untuk melihat fenomena perubahan agama di
belahan negara lain. Sebut saja, salah satu yang saya suka, Fenggang Yang
(2010) yang menggunakan teori tersebut untuk melihat kebangkitan agama di
tengah rezim komunis di Tiongkok. Dari tulisan Yang berjudul Religious
Awakening in China under Communist Rule ini, saya jadi paham, bahwa
teori Finke dan Stark tergolong pendekatan ekonomi politik.
Analisis supply-demand lahir dari
kegelisahan merebaknya teori-teori yang menekankan perubahan agama dari sisi
personal individu. Mengapa seseorang yang mengalami perubahan keagamaan dilihat
sebagai urusan psikologis? Para sarjana lebih menitikberatkan pada pemaknaan
individu dan perubahan-perubahannya. Pendekatan ini dikritik karena lebih
menitikberatkan pada demand individu. Dengan melihat kasus di
Amerika, Finke dan Stark melihat perubahan keagamaan lebih disebabkan adanya
perubahan pola supply.
Di masa awal Amerika, beberapa gereja yang
disponsori negara mulai sepi jemaat seiring dengan kelahiran gereja-gereja
(kecil) baru. Perubahan keagamaan ini salah satunya diakibatkan karena regulasi
baru yang mengatur kebebasan beragama. Kelahiran gereja-gereja baru inilah yang
disebut supplier atau produsen. Jemaatnya pun juga seolah
tidak terpaku pada satu gereja tunggal, tetapi mereka dapat memilih mana yang
disukai. Beragama pada saat itu diibaratkan seperti pergi keluar masuk ke
swalayan. Di sinilah pilihan rasional menyeletuk mengapa hal tersebut terjadi.
Perubahan model keberagamaan tersebut oleh Finke
dan Stark dikomentari seperti ini. Bila dulu, “the force of modernity
reduced the demand of religion.” Kini, hal tersebut berubah, “structure
of the religious market can alter the supply of religion” (116). Jadi
sekarang logika pasar menentukan bentuk-bentuk penawaran keberagamaan.
Gampangnya gini saja, mari kita lihat, bagaimana
kebebasan berekspresi di Indonesia memacu kemunculan provider-provider keagamaan
baru, biasanya digawangi kaum muda, yang menawarkan berbagai macam kajian,
seperti pelatihan dan program-program kesalehan kreatif. Ambil contoh pesantren
dengan sistem daring, program baca Quran satu hari satu juz, tahajud
call, dan lain sebagainya.
Gauthier melalui bukunya, ingin melampaui analisis
Stark-Finke tersebut. Secara pedas, ia mengkritik bahwa Stark-Finker hanya
menggunakan kosakata ekonomi untuk menterjemahkan perubahan agama. Gauthier
ingin membuat analisis supply-demand lebih sistematis sebagai
kerangka teoritis. Dua buku editan dia sebelumnya menjelaskan pola dan arah
analisis Gauthier. Yang pertama patut disebut Religion in the
Neoliberal Age: Political Economy and Moders of Governance (2013);
yang kedua berjudul Religion in Consumer Society: Brands, Consumers and
Markets (2013).
Buku pertama fokus pada bagaimana gerakan-gerakan
kebangkitan agama muncul sebagai respons dan sekaligus menunggangi semangat
global neoliberalisme pemerintah. Perubahan-perubahan atas institusi keagamaan,
yang beberapa di antaranya disokong pemerintah, harus tergopoh mengikuti
perubahan pasar keagamaan. Beberapa kasus malah harus berhadapan dengan
proyek-proyek neoliberalisme negara. Buku kedua menampilkan wajah agama yang
dipeluk oleh masyarakat konsumen. Teladan kasus yang ditampilkan berkutat
seputar bentuk-bentuk baru komodifikasi agama. Bagaimana spiritualitas
disajikan dalam menu-menu komoditas kesalehan yang sama sekali baru.
Buku Gauthier terbaru meracik secara apik tekanan
neoliberalisme dan budaya konsumerisme ke dalam teoritisasi khas sosiolog
agama. Dalam buku ini, Gauthier enggan menilik logika negara-bangsa dalam
mengelola agama—sesuatu yang justru menjadi bagian cukup penting dalam analisis
Finke dan Stark. Setelah meninggalkan logika negara-bangsa, Gauthier mengajukan
neoliberalisme sebagai elan vital dalam kelahiran rezim Market. M
ditulis dengan huruf kapital merepresentasikan kehadiran kekuatan besar dalam
mempengaruhi pola keberagamaan.
Bagaimana semangat neoliberalisme melahirkan kelas
menengah? Inilah yang harus dikaji terlebih dahulu, karena kelas inilah yang
menjadi subjek utama masyarakat konsumen. Bagaimana neoliberalisme melahirkan
ilmu manajemen, dan pada saat yang sama membuka ruang-ruang entrepreneurship?
Bagaimana reformasi neoliberal mewujudkan hadirnya pasar bebas yang
berimplikasi pada banyak pilihan, termasuk dalam hal beragama?
Gauthier ingin menghubungkan proses neoliberalisme
dengan konsumerisme. Konsumerisme, baginya, adalah sebuah etos sekaligus
ideologi budaya. Gauthier menulis, “consumer culture is a culture of
consumption meaning that its ‘dominant values’ are not only originated through
consumption practices but are also in some sense derived from them” (139).
Senantiasa ingin update status di fesbuk atau WA merupakan
bukti dari pernyataan tersebut. Apa yang menjadi perantara neoliberalisme dan
konsumerisme?
Jawabnya marketisasi. Melalui gairah
konsumsi yang hebat, brand dipasarkan karena di dalamnya
mengandung makna, identitas, sosialitas, nilai, emosi, pengalaman, otensitas,
mimpi dan kesempatan. Konsumsi mengubah kepemilikan menjadi sebuah relasi fanatik
terhadap sebuah brand. Brand bergerak dalam sebuah
jalinan ekonomi simbolis dan spiritualitas, dan kemudian menjadi sebuah sistem
kepercayaan. Itulah mengapa ia memiliki kekuatan “mind-share, viral”
(144). Brand inilah yang dimarketisasi.
Marketisasi juga bentuk lain
dari mediatisasi. Gauthier menggunakan istilah hypermediatisation,
merujuk pada media-media (sosial) baru yang mana memungkinkan terbentuknya
sebuah gerakan, jejaring dan interaksi sosial lainnya. Mediatisasi mentransformasikan
media menjadi sumber primer informasi agama sekaligus menyediakan panduan moral
dan spiritual. Melalui marketisasi, agama diprivatisasi.
Melalui marketisasi, agama sebagai sebuah institusi diubah menjadi
sebentuk organisasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar