Ringkasan “Antropologi Hukum Islam” oleh Aria Nakissa (2019)

Dipublikasikan oleh Sawyer Martin French pada

Nakissa, Aria. 2019. The Anthropology of Islamic Law: Education, Ethics, and Legal Interpretation at Egypt’s Al-Azhar  (Antropologi Hukum Islam: Pendidikan, Akhlak, dan Interpretasi Fikih di Al-Azhar, Mesir). Oxford University Press.


Buku ini menggunakan penelitian lapangan (etnografi) bersama studi teks (filologi) untuk menggambarkan struktur pemikiran dan pendidikan syariat klasik di Mesir serta di dunia Islam secara umum (pada bagian I-III), lalu mendeskripsikan perubahan dan transformasi apa saja yang sudah dialami tradisi ini pada zaman moderen (pada bagian IV).
 
Skema buku:
  • Kata Pengantar
  • Bagian I – Teori dan latar belakang
    • Bab 1: “teori hermeneutika,” “teori praktek,” dan syariat
    • Bab 2: sejarah pendidikan Islam di Mesir
  • Bagian II – pendidikan syariat pra-moderen
    • Bab 3: syariat sebagai etika kesunahan
    • Bab 4: pendidikan lewat mulazamah (persahabatan)
    • Bab 5: isnad
    • Bab 6: pentingnya mengambil pengetahuan langsung dari lidah guru (musyafahah)
  • Bagian III – struktur pemikiran syariat pra-moderen
    • Bab 7: struktur pemikiran syariat pra-moderen
  • Bagian IV – perubahan moderen
    • Bab 8: transformasi ruang dan waktu dalam pendidikan moderen formal
    • Bab 9: transformasi proses “membaca”
    • Bab 10: munculnya aliran Salafi dan Wasati
  • Penutup
 
Dalam Bab 1, Nakissa berusaha untuk menggabungkan antara dua pola teori dalam antropologi, khususnya antropologi Islam. Yang pertama ia sebut sebagai “teori hermeneutika,” yang menganalisis fenomena social dengan melihat semua tindakan dan perkataan manusia sebagai “tanda” (sign) yang menandakan apa yang ada dalam pikirannya (mind). Lalu, semua kehidupan sosial dilihat menjadi proses penafsiran kumpulan tanda-tanda ini dari orang lain. (Notabene “hermeutika” ini bukan sama dengan pendekatan hermeneutika dalam penafsiran kitab suci.) Pola teori ini dikedepankan oleh pemikir-pemikir seperti Geertz, Weber, dan Davidson. Yang kedua ia sebut “teori praktek,” yang datang mengkritisi teori hermeneutika dan lebih menekankan bagaimana amalan dan tindakan bisa membentuk isi pikiran, sebalik dari paradigma teori hermeneutika. Ini ia identikkan dengan pemikiran Bourdieu, Foucault, Asad, dan Mahmood. Begitu Mahmood menunjukkan bahwa salat (amalan) bukan sekedar “tanda” atas ketaatan (isi pikiran) seseorang, akan tetapi itu juga sarana untuk mengembangkan diri menjadi lebih taat.
 
Dengan menggunakan “teori hermeneutika,” Nakissa menjelaskan bahwa para ulama fikih melihat syariat secara keseluruhan sebagai sistem tanda-tanda yang menunjuk kepada isi pikiran (kehendak, intention) Tuhan, karena Tuhan adalah Al-SyāriꜤ (Sang Pemberi Hukum) (34). Kehendak sumber dari hukum. Begitu para ulama fikih bisa mencari dan menganalisis “tujuan” Tuhan (maqsad, murad) dalam sebuah hukum (36). Nakisa menyebut bahwa, menurut fikih klasik, ada empat sumber “tanda” utama atas kehendak Tuhan dalam syariat: Alquran, hadis, keteladanan (uswatun hasanah, exemplar) dari ulama masa lalu, dan keteladanan dari ulama yang masih hidup (38).
 
Pada sisi lain, Nakissa menulis bahwa “teori praktek” membantu kita memahami tradisi syariat. Terutama, pendekatan teoretis ini menunjukkan bahwa amalan bukan sekedar hasil dari pengetahuan, tapi juga bagian dari proses pedidikan (55).
 
Pada Bab 2, Nakissa menggambarkan tempat penelitian etnografisnya, yaitu Universitas al-Azhar dan Darul Ulum, keduanya di Kairo, Mesir. Ia juga memberi latar belakang singkat mengenai perubahan dalam pendidikan dan pemikiran syariat pada zaman moderen. Ia melanjutkan pembahasan ini nanti pada Bagian IV.
 
Bagian II mendeskripsikan struktur pemikiran dan pendidikan syariat klasik, atau pra-moderen, dan terbagi antara empat bab/topik: syariat sebagai etika kesunahan (Bab 3), pendidikan lewat mulazamah (persahabatan) (Bab 4), isnad (Bab 5), dan pentingnya mengambil pengetahuan langsung dari lidah guru (musyafahah) (Bab 6).
 
Bab 3 mengklaim bahwa paradigma etika syariat berbeda jenis dengan etika barat liberal, yang menilai hasil dari amalan dan dampaknya (baik atau buruk) terhadap orang lain. Etika syariat, pada sisi lain, adalah contoh dari “virtue ethics” (istilah Aristoteles) yang lebih menekankan pembentukan akhlak dan sifat internal (disposition) yang baik (91-94). Tentu saja, dalam syariat Islam akhlak ini identik dengan keteladanan sunah Rasulullah, tapi dalam tradisi klasik, pembentukan akhlak ini dianggap butuh bimbingan dari seorang guru (shaikh) (107-10). Melainkan hal tambahan di samping hukum, akhlak dianggap segi integral dari syariat sendiri, dan kemampuan seorang mendalami ilmu fikih terikat dengan pembentukan akhlak mulia ini dalam pribadinya (112). Setelah menyempurnakan akhlak pada keteladanan nabi melaluai disiplin di bawah seorang guru, hatinya bisa punya kesamaan dengan kehendak Tuhan (muwafaqah), lalu pada tingkat ini seorang ulama fikih menjadi mampu memilih antara hukum (tarjih) dengan mengikuti hatinya (istifta’ al-qalb) (116-18).
 
Bab 4 menggambarkan tradisi mulazamah (atau suhbah), di mana seorang murid berkhidmat kepada gurunya di dalam rumahnya sambil mengamati dan menirunya, dan gurunya juga membenarkannya dan mendidiknya (123). Model ini adalah turunan dara para sahaba nabi, yang dianggap paling otoritatif ilmunya atas dasar persahabatannya yang erat dengan nabi Muhammad (127). Dibandingkan dengan sistem ini, para ulama klasik mengkritik metode belajar alternatif di mana murid baca langsung dari kitab tanpa bimbingan dari guru (132).
 
Bab 5 terus menjelaskan bahwa kekuatan setiap mata rantai dalam isnad keilmuan berdasarkan keeratan persahabatan ulama itu dengan gurunya (153). Lain halnya dengan pendapat para sarjana barat yang anggap isnad itu hanya penting untuk menilai kesahihan sebuah riwayat, Nakissa menunjukkan bahwa isnad itu menjamin bahwa ilmunya seseorang juga dibarengi pembentukan akhlak yang kembali (lewat isnad itu) kepada keteladanan nabi Muhammad (154-56).
 
Bab 6 menunjukkan pentingnya lisan (orality) dalam transmisi ilmu tekstual, khususnya pentingnya belajar kepada seorang guru, bukan langsung ke kitabnya (yang dianggap sumber paham sesat) (177). Nakissa menggambarkan tiga metode pendidikan kitab (jenis ijazah) dalam sistem klasik: sama’, qira’a, dan munawalah (164-66). Ia juga membahas dinamika antara matan dan syarah (167-69).
 
Bagian III hanya berisi satu bab, yaitu Bab 7 tentang struktur pemikiran fikih pra-moderen, yang berkaitan dengan paradigma pendidikan syariat yang digambarkan pada Bagian II di atas. Di sini, Nakissa memakai “teori perencanaan” (planning theory) dari Bratman, yang membantu ia menemukan dua sifat struktur hukum Islam (walaupun menurut saya temuan ini sudah jelas tanpa teori tersebut). Pertama, hukum-hukum syariat sebagiannya rasional (bisa dilacak maksudnya atau ‘illahnya) dan sebagiannya tidak (arbitrary) (188-97). Misalnya dalam kasus hukum salat, kita bisa lihat pada segi rasional, tujuannya agar manusia mendekatkan diri pada Penciptanya, sedangkan bentuk dan waktu salat atau jumlah rakaatnya tidak bisa dijelaskan secara rasional. Temuan kedua adalah bahwa situasi baru bisa menyebabkan batalnya hukum atau penyesuaiannya, seperti nasakh dalam al-Qur’an dalam kasus anggur atau kiblat (202), dan dalam konsep usul fikih tentang maslahat (207). Lalu, Nakissa membahas taqlid dan ijtihad, dan mengatakan bahwa sebenarnya kebanyakan ulama menggunakan campuran dari dua-duanya (tidak harus seutuhnya satu atau lainnya) (219). Terakhir, ia menjelaskan bahwa pada sistem pendidikan syariat klasik, dalam paradigma taqlid, yang paling utama dalam pendidikan fikih bukanlah dalil (Alquran dan hadis) tapi pendapat-pendapat para ulama fikih yang otoritatif (221).
 
Pada Bagian IV, Nakissa terus membandingkan gambaran struktur syariat tradisional yang sudah ia berikan pada bagian I-III dengan perubahan dan transformasi yang terjadi pada pemikiran dan pendidikan syariat pada zaman moderen. Pada bagian ini, kita bisa lihat bahwa pendapat Nakissa tentang perubahan moderen sudah berubah dengan argumen yang pernah ia ajukan sebelumnya. Dalam disertasinya dan sebuah artikel yang terbit tahun 2014, Nakissa mengklaim bahwa perubahan paling utama yang terjadi dalam pemikiran syariat dalam kedua abad terakhir adalah pergeseran episteme (pola epistemik, atau pandangan terhadap apa itu ilmu, serta esensi dan dimensinya) dari model tradisional berbasis bahasa (fikih sebagai upaya mengerti dan menafsirkan teks) ke model baru yang berwatak saintek (fikih sebagai upaya “menemukan” hukum baru demi “kemajuan”).
 
Nah, dalam buku terbitan 2019 ini (yang dikembangkan dari disertasinya), Nakissa, tanpa memberi penjelasan, tidak lagi mengedepankan teori pergeseran episteme lagi, malah tidak pernah sebut kata espisteme. Sedangkan sekarang, Nakissa mengidentifikasi sebuah pergeseran lain sebagi perubahan utama dalam zaman moderen: yaitu ditinggalkannya metode pendidikan etika model persahabatan dengan guru teladan dan digantikannya dengan model siswa mandiri, di mana ia membaca buku sendiri dan pembelajarannya bersifat formal/profesional, bukan personal. Kedua bab pertama dalam Bagian IV menggambarkan pergeseran ini mengenai transformasi ruang dan waktu dalam pendidikan moderen formal (Bab 8) dan transformasi proses “membaca” (Bab 9). Lalu, Bab 10 membahas munculnya aliran Salafi dan Wasati, yang menurut Nakissa adalah hasil dari perubahan moderen ini.
 
Bab 8 tentang pembaruan pendidikan di al-Azhar yang dilakukan oleh para modernis (seperti Abduh) yang menilai sistem tradisional tidak efisien dan kurang terstruktur (230). Para pegiat pembaruan bekerja untuk mengurangkan waktu (tahun) belajar, meningkatkan jumlah pelajar, menstandardisasi kurikulum, membuat ijazah resmi dan fenomena “lulus,” dan menggantikan pelajaran informal (halaqah) dengan kelas-kelas di ruangan yang penuh bangku-bangku (231). Nakissa mengklaim bahwa perubahan ini punya dampak terhadap pola pikir: “Cara penataan ruang dan waktu dalam pendidikan yang berbeda menunjukkan pandangan yang berbeda terhadap apa itu ilmu dan bagaimana ilmu itu digali” (242). Sekarang, model pendidikan tradisional yang berbasis mulazamah dan musyafahah hanya terdapat di luar kampus, di perkumpulan di masjid-masjid. (Ini mirip dengan modernisasi pendidikan di Indonesia yang dibahas oleh NoerDhofier, dan Lukens-Bull, tapi di Indonesia model tradisional masih lebih hidup daripada di Mesir dalam pesantren salafiyah.)
 
Bab 9 membahas perubahan dalam yang namanya “membaca” yang disebabkan oleh munculnya industri percetakan, kitab cetakan, dan “budaya cetak” (print culture). Dalam budaya cetak ini, orang-orang semakin menganggap bahwa teks itu seharusnya sudah jelas dan tidak butuh pensyarahan oleh guru (248). Ini, bersama gerakan anti-taqlid (Abduh dan Rasyid Rida), mengakibatkan model kitab matan yang klasik (di mana bahasanya rumit) digantikan dengan kitab gaya baru yang bahasanya lebih sederhana. Tentu saja, ini bertolak belakang dengan model tradisional, di mana kitab harus dibaca dengan bimbingan guru, dan membaca kitab sendiri dianggap seperti “mengambil setan sebagai gurunya” (132). Dalam model baru ini, murid bisa membaca lebih banyak kitab dengan lebih cepat, tapi tidak mencapai pemahaman yang semendalam dulu (255).
 
Dalam Bab 10, Nakissa menyatakan bahwa perubahan-perubahan ini mempengaruhi munculnya dua aliran pemikiran baru: yaitu Salafi dan Wasati. Keduanya mewarisi tradisi anti-taqlid (pro-ijtihad) dari Abduh dan Rida, tetapi berbeda pendekatannya menggunakan ijtihad. Para salafi lebih cenderung lebih literalis (menolak penyesuaian dengan konteks zaman dan tempat), sedangkan gerakan Wasati cenderung lebih fliksibel dan menyesuaikan interpretasi syariatnya dengan konteks moderen, terutama sistem negara sekular moderen. Ia juga mencatat bahwa aparat di Mesir memaksakan paham Wasati dalam struktur al-Azhar dan menuduh semua paham yang berbeda sebagai paham “teroris.”

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *