Kritik Wael Hallaq terhadap “Orientalisme”-nya Edward Said

Dipublikasikan oleh Muhamad Rofiq Muzakkir pada

Hallaq, Wael B. 2018. Restating Orientalism (Orientalisme Dirumuskan Ulang). Penerbit Universitas Columbia. 


(Tulisan ini pernah dimuat sebelumnya dalam tiga bagian di santricendekia.)

Pandangan Edward Said tentang Orientalisme

Diskusi mengenai seberapa akademik dan obyektif kajian Barat tentang dunia Islam mulai mendapatkan momentum setelah seorang intelektual Kristen Amerika Serikat berdarah Palestina, Edward Said, menerbitkan bukunya yang berjudul Orientalism. Terbit tahun 1978, buku ini saat ini telah menjadi kanonikal dan inspirasi bagi siapapun yang ingin menulis topik representasi dunia akademik Barat bukan hanya terhadap Islam, tetapi juga dunia Timur secara umum.
 
Di kalangan ilmuwan Barat, buku ini dianggap cukup berhasil dalam ‘menyadarkan’ tentang pentingnya sensitifitas kultural dalam merepresentasikan atau menggambarkan the Other (Yang Lain). Jika sebelumnya para para pengkaji Barat bisa leluasa mengajukan argumen apapun terkait dunia Timur, bahkan yang bernada merendahkan sekalipun, setelah terbitnya buku ini ada semacam kehati-hatian untuk bertindak demikian.
 
Lebih dari itu, pandangan Said dalam buku ini diakui telah menginspirasi lahirnya gelombang besar dalam kesarjanaan Barat yang disebut dengan putaran paska kolonial (post-colonial turn), yaitu suatu gerakan intelektual yang menyerukan peninjauan kembali dan dekonstruksi terhadap warisan kolonial khususnya dalam bidang pengetahuan. Para intelektual pengusung orientasi ini berpandangan bahwa penjajahan bukan hanya terjadi dan berdampak pada bidang politik, ekonomi, dan budaya, tetapi juga meninggalkan jejak pada bidang epistemologi (pengetahuan).
 
Dalam bidang studi Islam secara lebih spesifik, karya Said Orientalism telah menyadarkan para sarjana muslim tentang sikap prejudis di balik kesarjanaan para orientalis. Pertanyaan tentang relasi kuasa (power relation) kemudian menjadi umum diajukan. Belakangan, di kalangan para pengkaji Islam di Barat juga ada semacam tren untuk menguji kembali tesis-tesis tentang tradisi Islam yang selama ini diambil secara for granted.
 
Ada semacam kesadaran bahwa sejumlah konsepsi yang umum diyakini, baik oleh masyarakat awam maupun oleh kalangan sarjana, sebagai kebenaran faktual sebenarnya berasal dari warisan prejudis orientalis terhadap Islam. Misalnya pandangan bahwa tasawwuf adalah penyebab kemunduran peradaban, kemandegan filsafat paska al-Ghazali, tertutupnya pintu ijtihad, posisi taklid sebagai instumen yang menghambat kreatifitas, dan topik-topik lainnya.
 
Secara umum pandangan Edward Said tentang orientalisme dapat dirangkum sebagai berikut. Said berpandangan bahwa orientalisme sebagai kegiatan akademik para sarjana Barat dalam merepresentasikan dunia Timur adalah suatu tradisi yang sudah berusia lama. Sejarahnya dapat ditelusuri sejak kesarjanaan para filosof Yunani. Namun keberadaan orientalisme secara formal baru dimulai tahun 1312 ketika Dewan Gereja Viena mendirikan kajian Bahasa Arab, Ibrani, dan Syriak di beberapa kota penting di Eropa abad pertengahan seperti Paris, Bologna, Avignon, dan Salamanca. Hanya saja yang perlu dicatat, menurut Said, orientalisme bukan hanya sebatas disiplin ilmu yang berfungsi mempelajari dan menggambarkan bangsa Timur, tetapi juga menjadi instrumen politik untuk mendominasi, mengatur dan menguasainya.
 
Said menyebut ada beberapa strategi yang ditempuh untuk mencapai tujuan ini. Pertama, para orientalis merepresentasikan Timur dengan menciptakan perbedaan antara Barat (dunia di mana para pengkaji Barat berasal) dan Timur. Para sarjana Barat memproyeksikan semua gambaran positif kepada dunianya sendiri dan pada saat yang sama membuang citra negatif kepada dunia Timur yang mereka tulis. Mereka menghindari sejumlah identitas peyoratif seperti terbelakang, despotik, konfliktif, patrialkal, mistis, dan lain-lainnya, tetapi mengatribusikannya kepada dunia Timur.
 
Kedua, tidak hanya mengkonstruksi citra negatif, orientalisme juga melakukan monopoli representasi. Para pengkaji Barat mengklaim bahwa tidak ada yang layak dan mampu untuk menceritakan tentang Timur kecuali orang Barat. Mereka mengkampanyekan anggapan bahwa dunia Timur tidak memiliki kemampuan untuk menampilkan diri mereka sendiri. Oleh karena itu, tidak berlebihan menurut Said jika dikatakan bahwa Timur hampir sepenuhnya adalah apa yang diciptakan oleh Barat (the Orient was almost a European invention).

Kritik Wael Hallaq terhadap Pandangan Edward Said tentang Orientalisme

Dalam kurun waktu empat puluh tahun setelah terbitnya Orientalism, telah banyak karya yang ditulis para intelektual untuk mengkritik Said. Diantara kritik yang diarahkan kepadanya adalah berkenaan dengan falasi esensialisasi atau totalisasi. Para pengkritiknya menganggap bahwa Said telah melakukan generalisasi terhadap orientalisme dan mengabaikan adanya keragaman di dalamnya. Said mengabaikan kontribusi positif orientalisme, khususnya dalam kajian teks, dan mengabaikan adanya kelompok orientalis yang menulis dunia Timur secara positif.

Kritik Wael B Hallaq, sarjana Palestina-Amerika yang dalam banyak hal sangat dipengaruhi oleh Said, juga mengafirmasi kritik ini. Pendekatan all-too-sweeping yang digunakan Said menurut Hallaq telah berlaku tidak adil kepada orientalisme. Ada banyak orientalis kredibel yang sangat berjasa dalam berbagai disiplin ilmu. Mereka tidak membawa ‘bagasi’ apapun ketika menggambarkan dunia Timur. Hallaq menyayangkan Said yang mengolok-olok orientalis seperti Louis Massignon yang kajiannya tentang tasawuf sangat simpatik.

Secara khusus, Hallaq mengupas satu figur orientalis yang sangat berseberangan dengan apa yang digambarkan oleh Said. Hallaq menjelaskan kontribusi dan posisi Rene Guenon, orientalis dari Perancis yang mengkaji tasawuf dan agama Hindu. Yang menarik dari sosok Guenon, menurut Hallaq, adalah ia tidak hanya berhenti pada pengkajian dan penggambaran kepada publik tentang mistisme dunia Timur. Lebih dari itu, ia menjadikan tradisi Timur yang ia kaji sebagai titik pijak atau materi untuk mengkritik balik dunia Barat. Guenon menjadikan orientalisme sebagai sarana untuk mempelajari nilai dan prinsip etika yang menurutnya telah lama hilang dari dunia Barat terutama sejak memasuki alam modernitas.

Guenon misalnya menulis bahwa dalam sejarah dunia, hanya peradaban Barat lah satu-satunya yang berkembang dengan orientasi materi murni. Guenon mengupas posisi sains di dunia Barat untuk menjelaskan tesis tersebut. Guenon mengatakan bahwa setiap peradaban pada prinsipnya membutuhkan sains. Secara ril juga banyak peradaban yang telah berkontribusi dalam perkembangan sains. Tapi sains Barat lah satu-satunya sains yang tujuan pengembangannya hanya untuk keutungan material, akumulasi harta benda, dan kesenangan fisik an sich. Sains di Barat, kata Guenon, tidak memiliki prinsip (principless) dan arah (directionless), serta tidak terhubung dengan nilai-nilai agama. Karena hilangnya nilai-nilai agama inilah (Guenon menyebutnya a principle of a higher order) maka Barat menjadi rasis, prejudis, selalu merasa superior, dan barbarik.

Kenyataan sains yang nir-etika tersebut ternyata tidak mengurangi obsesi Barat untuk menguniversalisasikannya kepada kebudayaan lain. Adalah suatu ironi tersendiri menurut Guenon melihat penulis Barat yang menganggap kebudayaannya sebagai puncak peradaban (the pinnacle of civilization) dan memaksa peradaban yang lain untuk mengikuti jalan sejarahnya. Terkait hal ini Guenon membuat sebuah analogi menarik. Barat diumpamakan seperti anak kecil yang baru saja belajar ilmu baru. Ilmu ini diajarkan kepada orang-orang dewasa yang dia anggap bodoh.

Kembali ke kritik Hallaq kepada Said. Ia menyatakan bahwa dengan tidak memberikan apresiasi kepada sisi positif orientalisme dan menganggap bahwa semua orientalis jahat, Said sebenarnya secara tidak langsung telah merendahkan dunia Timur. Ia mengabaikan fakta bahwa dunia Timur memiliki nilai positif yang dapat dipelajari oleh sarjana Barat. Ketika ia mengolok-olok Massignon yang menulis tentang tasawuf, misalnya, Said sebenarnya sedang mengolok-olok tasawuf itu sendiri.

Dengan kata lain, kata Hallaq, Said sendiri tidak ada bedanya dengan para orientalis yang ia kritik. Mereka sama-sama tidak memberikan apresiasi kepada dunia Timur. Ini menurut Hallaq bisa diperhatikan dalam argumen-argumen yang ia tulis dalam Orientalism. Sepanjang lebih dari 300 halaman buku ini, tidak sekalipun Said menyebut kelebihan dunia Timur yang dapat dipelajari Barat. Ini bertolak belakang dengan figur seperti Louis Massignon atau Rene Guenon yang sangat apresiatif terhadap dimensi spiritualitas dunia Timur.

Kerangka Teoretik Alternatif

Sebagaimana telah disebut sebelumnya, Hallaq mengafirmasi kritik yang diajukan oleh beberapa intelektual terdahulu mengenai falasi esensialisasi yang dilakukan Said. Perbedaan Hallaq dari para kritikus tersebut adalah aspek teoretis dari kritik Hallaq. Hallaq tidak berhenti hanya sebatas pada membongkar kelemahan Said, tetapi juga menawarkan suatu kerangka berfikir untuk dapat memposisikan orientalisme secara proporsional.

Untuk melihat posisi orientalisme secara lebih adil, dalam pengertian aspek negatif dan positifnya dapat diakui secara simultan, Hallaq mengajukan teori domain atau teori paradigma. Teori ini pada awalnya berasal dari Carl Smith, pemikir politik Jerman yang hidup zaman perang dunia kedua. Namun demikian Hallaq tidak hanya menggunakan teori Smith secara apa adanya, tetapi juga memperbaiki dan merombaknya pada aspek tertentu.

Menurut Hallaq, setiap kebudayaan memiliki dua domain: yang pertama bersifat sentral dan dominan, dan yang kedua bersifat pinggiran. Domain sentral memiliki satu fungsi pokok yaitu menjadi sifat dasar atau karakter utama suatu sistem kebudayaan. Selain itu, domain utama juga berfungsi melahirkan suatu tatanan umum (the order of thing) dalam sistem tersebut. Ia selanjutnya menjadi kekuatan pendorong untuk totalitas entitas yang berada dalam sistem itu. Apa saja yang bekerja dalam suatu sistem akan beroperasi dalam domain yang dominan tersebut.

Sementara itu domain pinggiran adalah pengecualian dari karakter umum dalam suatu sistem. Betapapun hegemoniknya domain utama, domain pinggiran tetap tidak tereliminasi dari sistem tersebut. Ia berwujud sebagai subversi atau perlawanan terhadap domain utama. Ia menjadi sifat anti mainstream dalam sistem kebudayaan. Posisinya dan pengaruhnya sangat kecil.

Hallaq kemudian melanjutkan. Bagi peradaban Barat modern, domain utamanya adalah kapitalisme dan materialisme. Dua paradigma inilah yang menentukan perilaku manusia modern di Barat hari ini. Setiap orang yang hidup dalam dunia Barat sulit mengelak dari dominasi dua paradigma ini. Kapitalisme dan materialisme menggerakan setiap aktivitas manusia yang hidup di dalamnya, baik di bidang politik, ekonomi, maupun di ranah akademik.

Namun demikian, bukan berarti inilah satu-satunya paradigma yang ada di Barat. Cara pandang non materialis tetap eksis pada individu-individu tertentu sebagai pengeculian dari fenomena umum. Mereka ibarat sekrup kecil dalam sebuah sistem teramat besar yang berbeda secara orientasi.

Selain materialisme, domain utama lain dari peradaban Barat menurut Hallaq adalah kekuasaan (power). Ini misalnya direpresentasikan dalam sebuah adagium popular, “knowledge is power”. Tujuan untuk memperoleh pengetahuan sebagaimana diformulasikan oleh Michel Foucault, pemikir Perancis Pos-Strukturalis, adalah untuk berkuasa.  “Knowledge is for subjugation and domination” dalam bahasa Friedrich Nietzsche. Mengetahui adalah menguasai dan merubah dunia.

Kata Hallaq, paradigma kekuasaan ini berbeda secara diametral dengan paradigma yang dipegang oleh Islam. Bagi peradaban Islam, belajar bukan untuk berkuasa, tetapi untuk meluruskan adab. Dengan kata lain domain sentral dalam Islam adalah etika. Sistem teologi, hukum, filsafat, dan tasawuf, menurut Hallaq, diarahkan menuju upaya penyempurnaan kapasitas akhlaq seorang individu. Dalam Islam, pengetahuan tidak bersifat Foucauldian dan Gramscian. Inilah alasan mengapa dalam sejarah Islam pra modern tidak ditemukan adanya tehnik-tehnik kontrol (Foucault menyebutnya sebagai biopower) yang diterapkan oleh pemerintah kepada individu-individu di dalam suatu kekuasaan.

Kembali ke teori domain. Menurut Hallaq, teori ini memungkinkan untuk dilakukan dua hal sekaligus. Di satu sisi teori ini memungkinkan peneliti untuk melakukan esensialisasi karakter utama sebuah sistem. Di sisi lain teori ini juga memungkinkan seorang peneliti melihat adanya pengecualian dari karakter umum dalam sistem tersebut. Dengan kata lain, teori ini memberikan ruang untuk dominasi sekaligus resistensi. Kegagalan Said dalam menjelaskan orientalisme secara holistik berawal dari ketidakmampuannya memetakan dan memahami teori domain ini.

Konsekwensi dari kegagalan ini menurut Hallaq bersifat ganda. Pertama, Said tidak melihat adanya resistensi terhadap karakter dasar orientalisme oleh sebagian orientalis. Dengan kata lain, Said gagal memotret dan mengapresiasi figur-figur orientalis yang secara serius mempelajari Timur untuk mengkritik Barat modern. Kedua, Said tidak melihat orientalisme dari akar masalahnya. Said, menurut Hallaq, tidak memahami orientalisme sebagai produk dari domain sentral peradaban Barat. Inilah sesungguhnya yang menjadi kritik paling mendasar dari Hallaq terhadap Said.

Kritik Hallaq terhadap Fondasi Orientalisme

Menurut Hallaq, kelemahan paling fundamental dari Said adalah ia melihat orientalisme sebagai penyebab dari misrepresentasi Islam oleh dunia Barat. Hallaq berbeda pandangan. Menurutnya orientalisme bukanlah penyebab, melainkan hanya gejala dari kekacauan epistemologis pengetahuan modern Barat yang lebih luas. Kritik Said terhadap orientalisme dengan demikian bersifat “semu”, “tidak mendasar”, “terlalu superfisial”, “tidak memiliki ketebalan dan kedalaman analisis”, serta “tidak melihat permasalahan dari pondasi filsafatnya”. Problem intinya menurut Hallaq tidak terletak pada orientalisme itu sendiri, tetapi pada modernity dan filsafat Pencerahan (the Enlightenment) yang melahirkan orientalisme.
 
Menurut Hallaq, ketika Said hanya mengutuk orientalisme, ia sebenarnya gagal melihat bahwa permasalahan mispresentasi Islam bermuara pada ideologi liberalisme, humanisme sekuler, antroposentrisme, sistem negara bangsa, dan filsafat progress (kemajuan) yang lahir sebagai anak kandung modernitas. Dengan hanya mengkambinghitamkan orientalisme, Said membiarkan dimensi yang lebih luas ini dan paling menentukan tidak tersentuh oleh kritiknya.
 
Hallaq membuat sebuah analogi terkait hal ini. Orientalisme menurutnya seperti puncak gunung es. Yang terlihat dipermukaan hanya bagian kecil, sementara yang berada di bawah laut jauh lebih besar. Said, kata Hallaq, hanya melihat puncak gunung es tersebut dan menyebutnya segala-galanya. Ia tidak mau mencari tahu apa yang berada di bawah permukaan laut.
 
Penyebab dari kegagalan Said dalam melihat problem fundamental dari orientalisme ini menurut Hallaq adalah kenyataan bahwa dirinya sendiri adalah seorang sarjana liberal dan sekuler. Ia dengan kata lain adalah bagian dari rezim kebenaran (regime of truth) ideologi Barat itu sendiri. Said, kata Hallaq, tidak pernah menunjukkan ketidaknyamanannya terhadap liberalisme dan sekulerisme. Ia juga tidak pernah membawa nilai dan tradisi agama ke dalam disiplin ilmu yang ia geluti.
 
Terkait Islam, Said tidak menguasai satupun bidang keilmuan klasik substantif seperti tasawuf, kalam, fiqih-usul fikih, dan lain-lain. Said juga tidak menyentuh dimensi sains, ilmu sosial dan humanities yang dilahirkan oleh ideologi sekuler Barat modern. Bagi Hallaq, tidak banyak yang bisa diharapkan dari kritik seorang sarjana dengan identitas seperti ini kepada orientalisme.
 
Hallaq selanjutnya menunjukkan sisi destruktif dari modernitas Barat yang tidak digambarkan oleh Said. Ia menyebut bagaimana sains Barat, yang didukung oleh sistem industralisasi dan ditopang oleh filsafat progress, telah menyebabkan problem kerusakan lingkungan selama dua abad terakhir. Penemuan alat-alat industri dan teknologi serta anggapan bahwa mereka bersifat netral (paham instrumentalisme) telah memperburuk keadaan yang diciptakan oleh modernitas. Menurut Hallaq, adalah suatu absurditas tersendiri menganggap bahwa suatu instrumen bersifat netral. Ada epistemologi atau sistem nilai tertentu di balik alat-alat canggih yang diciptakan oleh manusia.
 
Dalam bidang ekonomi, ia menyebut problem konsumerisme dan eksploitasi manusia untuk kepentingan ekonomi segelintir elit. Ia juga menyinggung problem korporasi yang ia sebut sebagai bagian dari entitas kolonial dan menyebabkan lahirnya patologi sosial. Uniknya, kata Hallaq, dunia akademia atau perguruan tinggi, justru menjadi supporting system bagi problem ini. Fakultas ekonomi dan bisnis misalnya tidak mengajarkan mahasiswa untuk mengatasi kesenjangan sosial atau sekedar mata kuliah filsafat etika, tetapi justru mengajarkan cara meraup keuntungan sebesar-besarnya.
 
Tidak hanya itu. Hallaq berpandangan bahwa ideologi liberalisme, sekulerisme dan antroposentrisme Barat telah menyebabkan apa yang ia istilahkan sebagai genosida struktural (structural genocide). Genosida dalam pengertian konvensional umumnya dipahami sebagai pembunuhan masal. Tetapi menurut Hallaq makna genosida bisa lebih luas dari itu. Ia bisa mencakup rekayasa (perubahan) total lanskap kultural masyarakat terjajah oleh negara penjajah. Genosida struktural bisa berwujud perubahan orientasi dan sistem nilai, pergeseran sistem hukum, sistem sosial, sistem ekonomi, dan sistem politik masyarakat terjajah dari coraknya yang tradisional menjadi berkiblat ke arah sistem negara penjajah.
 
Dengan segala peran negatif yang pernah dimainkan oleh disiplin ini dalam sejarah, orientalisme bukan berarti tidak berguna sama sekali. Menurut Hallaq, orientalisme jika didudukkan dengan benar, justru akan menjadi tradisi penyelidikan intelektual (tradition of intellectual inquiry) yang membawa kebaikan, baik bagi sarjana Barat sebagai subjek, atau dunia Timur yang menjadi obyek.
 
Berbeda dengan Said yang skeptis terhadap orientalisme, Hallaq masih menaruh asa terhadap bidang ini. Menurutnya orientalisme sebagai bidang keilmuan yang telah established di ranah kajian teks memiliki keunggulan yang tidak dimiliki oleh bidang yang lain. Antropologi misalnya, memiliki banyak perangkat konseptual, teoretis, dan metodologis untuk memahami kebudayaan masyarakat pada ranah lokal. Tapi bidang ini tidak membekali peneliti kemampuan untuk membaca dan menganalisis teks. Padahal kajian tentang dunia Timur, terlebih khusus lagi Islam, tidak akan bisa dipisahkan dari kajian teks (Talal Asad menyebutnya sebagai tradisi diskursif).
 
Oleh karena itu, sebagai alternatif dari kritik total Said terhadap orientalisme, Hallaq mengusulkan untuk memulihkan disiplin ini. Ia menyebut orientalisme yang sudah dibersihkan dari potensi imperialisme sebagai orientalisme introspektif. Orientalisme diarahkan sebagai tradisi penyelidikan intelektual terhadap dunia Timur dengan maksud untuk mempelajari nilai-nilai tradisionalnya untuk kemudian mengevaluasi perkembangan kebudayaan Barat modern.
 
Dengan kata lain, orientalisme introspketif bagi peneliti Barat berperan sebagai instrumen untuk mengevaluasi dan membangun diri sendiri (ethical-self construction) atau berfungsi sebagai upaya untuk memberadabkan diri sendiri (a technology for ethicizing the self). Dengan demikian, posisi obyek dalam orientalisme gaya baru ini berubah menjadi subyek. Dunia Timur berhenti dijadikan obyek dan lokus rekayasa ulang sebagaimana selama ini terjadi. Tetapi bertransformasi menjadi repertoar pemikiran (the repertoire of thought) yang mengarahkan proses pembentukan ulang jati diri orientalis yang baru (a new orientalist self).
 
Menurut Hallaq, ada beberapa langkah yang harus dilakukan dalam rangka membentuk ulang orientalisme. Pertama, para pengkaji Barat perlu mengkritik metafisika Barat hari ini atau dengan kata lain mengkritik nilai-nilai-modernitas. Kata Hallaq, struktur pemikiran yang mendasari modernitas Barat harus dipikirkan ulang secara keseluruhannya. Termasuk ke dalam hal ini, orientalisme juga perlu menata ulang hubungannya dengan dunia selain manusia (alam dan binatang). Selama ini paradigma Barat terlalu berpusat pada manusia (antroposentris) sehingga mengakibatkan rusaknya lingkungan. Bahkan jika perlu, kata Hallaq, kategori distingtif manusia dan nonmanusia yang selama ini digunakan perlu ditinggalkan.
 
Kedua, hal tersebut dibarengi dengan upaya untuk memahami secara mendalam kultur Timur/Islam khususnya pada periode pra modern yang masih bersifat organik. Kultur ini direformulasikan dan diposisikan sebagai sumber untuk mencari alternatif dari paradigma Barat modern hari ini.
 
Dengan dua langkah ini, orientalisme akan layak mendapatkan tempat di dunia akademia dan akan diapresiasi oleh dunia Timur. Tanpa dua langkah ini, orientalisme selamanya tidak akan bisa melepaskan diri dosa masa lalunya sebagai instrumen akademik yang menghambakan diri pada kolonialisme.

1 Komentar

Unknown · Agustus 17, 2020 pada 5:52 pm

dalem…..

Komentar ditutup.