Halal Versus Haram: Sejarah Makanan Halal

Dipublikasikan oleh Wisnu Adihartono pada

Armanios, Febe dan Boğaç Ergene. 2018. Halal Food: A History (Makanan Halal: Sebuah Sejarah). Penerbit Universitas Oxford.

(Diterbitkan pertama kali dalam Bahasa Inggris di readingreligion.org)


Halal Food: A History yang ditulis oleh Febe Armanios dan Boğaç Ergene dimulai dengan kegelisahan Henna Khan dan Talib Hussein, pasangan Muslim-Inggris dari West Yorkshire, Inggris, yang frustrasi karena salah satu dari tiga anak mereka berulang kali disuguhi ham dan jelly di sekolah.

Ham terbuat dari daging babi yang tidak diperbolehkan atau haram untuk konsumsi Muslim.  Dari permasalahan tersebut, buku ini memfokuskan pada hubungan antara aturan makanan dan Islam (halal versus haram). Makan dan minum yang benar merupakan aspek kunci dari gaya hidup Islam yang benar. Tujuan dari buku ini adalah untuk menawarkan pemahaman tentang makanan halal menurut tradisi Islam melalui sejarah.

Dalam bab 1, kita dapat menemukan penjelasan bahwa menurut umat Islam, Alquran secara bertahap diturunkan kepada Nabi Muhammad pada awal abad ke-7 M. Alquran dianggap sebagai kompilasi dari kata-kata Allah yang sebenarnya.  Dalam Alquran, istilah halal mengacu pada objek dan praktik yang diperbolehkan. Kebalikan dari halal adalah haram yang sering diterjemahkan sebagai berdosa.  Alquran menyatakan bahwa Tuhan menciptakan makanan untuk menopang dan memelihara kehidupan manusia untuk menikmatinya dalam jumlah sedang. Dengan demikian, makanan mewakili kekuatan dan kebajikan Tuhan (hal. 14). Alquran melarang konsumsi darah, daging babi, bangkai, dan daging anjing.

Dalam bab 2, kita menemukan bahwa menurut Armanios dan Ergene, konsumsi daging tidak lazim di kalangan Muslim kelas bawah sebelum zaman modern. Konsumsi daging mengikuti tiga aturan hierarki dimana pusat kekaisaran mengklaim daging dengan pengorbanan yaitu kelas atas dan elit administratif mengklaimnya dengan mengorbankan rakyat biasa. Muslim yang merdeka mengklaimnya dengan mengorbankan budak, dan pria mengklaimnya dengan mengorbankan wanita (hal. 41).

Febe Armanios

Bab ketiga menjelaskan penyembelihan yang tepat sebagai komponen utama dari resep halal untuk hewan (hal. 61). Adapun tekniknya, kepala hewan harus menghadap ke arah Mekah dan penyembelihan melibatkan nama Allah (tasmiyya) sebelum sayatan. Cara yang paling umum untuk melakukannya adalah dengan mengucapkan “Bismillah” diikuti oleh “Allah Akbar” (hal. 61). Selain menggunakan teknik konvensional, Armanius dan Ergene juga membahas tentang penyembelihan secara mekanis. Tetapi dari perspektif konsumen yang sadar akan makna halal, penyembelihan unggas secara mekanis dapat menimbulkan banyak masalah.

Yang menarik dalam buku ini adalah tidak hanya membahas tentang penyembelihan hewan saja tetapi juga pada bab 4 (Intoxicants) penulis membahas minuman yang dianggap haram. Menurut laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2004, dua puluh lima negara dunia ketiga yang dilaporkan memiliki tingkat konsumsi alkohol terendah adalah mayoritas Muslim (hal. 94). Begitu juga dengan opium dan ganja. Karena Nabi telah mengatakan bahwa “setiap minuman keras adalah khamr,” kebanyakan ahli hukum menyimpulkan bahwa opium dan ganja juga harus dianggap haram (hal. 95). Ini sangat berbeda dengan penggunaan kopi dan tembakau, yang hanya dikutuk jika merugikan Muslim dengan cara apapun (hal. 105).

Dalam bab 5, laporan ekonomi negara-negara Islam pada tahun 2016/2017 memperkirakan pasar makanan dan minuman halal pada tahun 2015 berkisar antara $1,2 triliun (hal. 110). Ini menunjukkan bahwa Islam adalah salah satu agama yang tumbuh paling cepat (hal. 111).  Akibatnya kebangkitan ekonomi halal telah mengilhami perkembangan organisasi baru untuk mengotentifikasi dan mensertifikasi ribuan produk makanan halal yang membanjiri pasar saat ini (hal. 117). Jumlah pemberi sertifikasi halal meningkat pesat; pada awal 1990-an, jumlahnya hanya sedikit, tetapi pada pertengahan 2015 jumlahnya diperkirakan mencapai 150 (hal. 121).

Pada bab 6, penulis menjelaskan bahwa standar halal mendefinisikan pangan halal sebagai pangan yang tidak mengandung komponen atau produk hewan yang tidak halal. Ada dua standar halal yang mendefinisikan makanan halal yaitu sebagai makanan yang aman dan tidak berbahaya dan yang menganjurkan penyembelihan menghadap ke arah Mekah.

Boğaç Ergene

Bab 7 mengungkapkan produk yang diproduksi oleh hal-hal yang dianggap halal. Yang sangat penting bagi Armanios dan Ergene adalah menjelaskan pengertian istihala dan istihlak. Istihala berasal dari akar bahasa Arab h-w-l yang berarti “berubah atau ditransformasikan.” Ini dapat diterjemahkan sebagai proses di mana satu substansi secara fundamental diubah menjadi yang baru (hal. 166). Sedangkan dalam bahasa Arab, Istihlak (dari h-l-k) sering diterjemahkan sebagai “konsumsi” (hal. 168). Bagi Muslim, semua makanan yang baik (al-tayyibat) telah dijadikan halal [oleh Allah] (hal. 191). Melalui konsep ini, beberapa organisasi Muslim menggunakan tayyib untuk mempromosikan kesadaran ekologis dan lingkungan (hal. 196).

Dua bab terakhir membahas identitas agama dan budaya makanan halal. Media memainkan peran penting. Mereka mencerminkan wacana kuliner yang menguraikan tidak hanya repertoar gastronomi tetapi juga masakan yang dapat mewujudkan perasaan kebersamaan, adaptasi dan integrasi (hal. 228).

Jika kita ingin mengetahui sejarah makanan halal maka buku ini sangat lengkap. Dengan 400 halaman, buku ini menyajikan cerita dari zaman pra-Islam hingga zaman modern.  Armanios dan Ergene juga memberikan contoh kontemporer untuk para pembaca.

* * *

Biografi singkat penulis: Wisnu Adihartono adalah seorang sosiologis dan peneliti independen. Ia mendapatkan gelar Ph.D di bidang sosiologi dari École des Hautes Études en Sciences Sociales (EHESS), Prancis. Ia beberapa kali menerbirkan artikel ilmiahnya untuk jurnal internasional dan beberapa artikel pendek untuk laman internet. Wisnu Adihartono dapat dihubungi melalui email wisnuadi.reksodirdjo@gmail.com atau wisnuadi.reksodirdjo@outlook.com