Perjalanan Hijab di Indonesia Hingga Menjadi Bagian dari Fashion

Dipublikasikan oleh Iva Hanani pada

Kim Hyung Joon. 2018. Hijab Adalah Fashion: Realisasi dan Pemikiran Perempuan Muslim Indonesia Tentang Kecantikan (히잡은 패션이다: 인도네시아 무슬림 여성의 미에 대한 생각과 실천). Penerbit Seohae Moon Jib.


Hijab: Pakaian Muslimah, Kim menjelaskan tentang alasannya memilih istilah hijab dibanding veil. Jika merujuk kepada pakaian perempuan muslim, maka kata hijab lebih tepat karena istilah hijab juga digunakan dalam al-Quran dan mewakili veil. Selain itu, istilah hijab semakin dikenal dunia, sehingga konsep hijab tidak hanya dikenal di masyarakat muslim saja, tetapi juga masyarakat nonmuslim. Pada tahun 1800-1950 hijab dianggap sebagai bentuk barbarisme dan isolasi di dunia barat. Orang barat pun merasa bertanggungjawab untuk membebaskan mereka. Pembebasan yang mereka lakukan tak lain bermaksud untuk memperluas wilayah jajahan mereka. Di negara islam, melarang atau mewajibkan penggunaan hijab menjadi bentuk respon terhadap penjajahan barat.

Pada bagian Islam dan Hijab dibahas sekilas mengenai tafsir tentang hijab, yaitu tafsir tradisional dan modern. Tafsir tradisional yang dikemukakan adalah tafsir dari empat imam besar, yaitu Syafii, Hanafi, Hambali, dan Maliki tentang kewajiban berhijab dan batasan aurat yang meliputi seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Dalam pandangan tafsir tradisional, kecantikan perempuan hanya diperuntukkan suami saja. Menunjukkan kecantikan di muka umum hanya akan menarik perhatian lawan jenis yang bukan mahramnya dan dapat mendekati zina. Tafsir modern berusaha menafsirkan al-Quran dengan sudut pandang yang baru, yaitu menentukan batas aurat yang disesuaikan adat atau kondisi, dan standar ‘malu’ yang berlaku di daerah masing-masing. Selain itu, menghias diri sebagai ekspresi diri merupakan hal yang diperbolehkan secara agama dan dilakukan perempuan dengan penuh tanggung jawab.

Pada bagian Paparan Historis Hijab di Indonesia: Hingga tahun 2000an dinyatakan bahwa hijab menjadi bagian dari masyarakat Indonesia sejak para cendekiawan muslim kembali ke Indonesia dari menuntut ilmu agama di asia barat pada awal abad ke-19. Hijab menjadi kewajiban bagi perempuan muslim di Padang, organisasi Islam Muhammadiyah dan Nadhatul Ulama. Pada masa Orde Lama pemakaian hijab atau kerudung hanya dilakukan di sekolah Islam saja. Pada masa Orde Baru, yaitu pada tahun 1980, mulai muncul beberapa pandangan baru mengenai batas aurat dan hijab. Namun, tetap saja pandangan tradisional dan fundamental tentang pelaksanaan Islam yang benar lebih dianut. Akibatnya, kerudung yang masih memperlihatkan sedikit leher tidak diperbolehkan untuk dipakai. Pada tahun 1982 pemerintah Indonesia mengeluarkan ketentuan tentang seragam sekolah negeri. Pemakaian hijab diperbolehkan, tetapi harus diberlakukan untuk seluruh murid dan guru perempuan di satu sekolah. Pada tahun 1991, pemerintah mengijinkan pemakaian seragam khusus untuk murid perempuan sesuai dengan agama dan kepercayaannya, sehingga hijab pun tercakup dalam ketentuan tersebut. Kebebasan mengekspresikan identitas keagamaan terjadi pada “zaman edan”, yaitu sekitar tahun 1997. Pada saat itu, pemakaian hijab semakin meluas dan pada umumnya hijab dipakai oleh perempuan kantoran yang berpendidikan tinggi. Kecemasan sosial juga menjadi salah satu faktor semakin banyaknya perempuan yang memutuskan memakai hijab. Hijab dianggap sebagai alat pelindung dari kehajatan seksual atau godaan pria. 

Setelah “zaman edan” berlalu, hijab menjadi bagian kehidupan sehari-hari perempuan Indonesia. Hijab mulai muncul beragam dari segi desain, warna, dan ukuran. Hijab juga dipadu-padankan dengan busana yang cocok. Pemakai hijab tidak hanya orang biasa, tetapi merambah ke selebriti. Hijab yang dikenakan selebriti di acara televisi pun menjadi populer, sehingga setelahnya diproduksi dan diperdagangkan dimana-mana. Tak ketinggalan, stasiun televisi pun membuat program-program bernuansa Islami. Lama-kelamaan hijab pun menjadi tren di Indonesia. Hijab semakin popular sebagai fashion setelah masuk di Jakarta Fashion Week pada tahun 2008. Semenjak itu, muncul istilah Hijab Gaul. Dilihat dari sudut pandang tafsir tradisional, hijab digunakan untuk menutup tubuh dan membatasi segala bentuk ekspresi untuk mempercantik diri. Namun, hijab gaul berarti bahwa kewajiban beragama hanya pada hijab saja, sedangkan mempercantik diri tidak masuk dalam bahasan yang sama.

Jika membicarakan tentang hijab di Indonesia, maka Hijaber tak dapat dilepaskan darinya. Pada bagian Hijaber: Hijab sebagai Fashion, dibahas fenomena Komunitas Hijaber di Indonesia. Komunitas Hijaber didirikan pada tahun 2011 dan salah satu punggawanya adalah Dian Pelangi. Dian Pelangi yang seorang desainer dan santri, mencoba menghubungkan fashion dengan hijab. Dian berlandaskan pada Surah An-Nur ayat 31 dan surah Al-Ahzab ayat 59 yang menyatakan bahwa hijab adalah kewajiban perempuan muslim dan hadis yang menyatakan bahwa Allah itu indah dan menyukai keindahan. Ada dua keindahan, yaitu keindahan dari dalam dan dari luar. Keindahan dari dalam meliputi akhlak yang baik, sedangkan keindahan dari luar adalah pakaian dan hiasan yang sesuai dengan pribadi masing-masing. Kegiatan Komunitas Hijaber mendukung terciptanya keindahan luar dan dalam. Hijab fashion show, fashion bazaar dan menghadirkan selebriti atau orang terkenal sebagai ikon fashion atau pembicara dapat dijadikan referensi untuk keindahan luar. Pengajian dan Hijab Day merupakan kegiatan yang mendukung terciptanya keindahan dari dalam. Respon terhadap fenomena komunitas hijaber ini ada dua, positif dan negatif. Respon positif datang dari media dan pengusaha yang melihat fenomena ini sebagai pasar. Resspon negatif datang dari kelompok muslim tradisionalis dan konservatif, termasuk Hizbut Tahrir Indonesia yang mengkritik bahwa kegiatan hijaber sudah keluar dari ajaran agama Islam karena tidak beda dengan para kapitalis.

Berkembangnya hijab sebagai fashion membuat pemakai hijab bebas untuk mengkreasikan hijabnya. Beberapa perempuan memakai hijab tetapi tidak menjulurkannya hingga ke dada, sehingga membuat dadanya tampak menonjol. Fenomena seperti ini disebut dengan istilah Jilboob yang pada buku ini dibahas pada bagian Jilboob: Kebebasan Mengekspresikan Kecantikan dan Hijab. Istilah Jilboob muncul pertama kali di media sosial pada tahun 2012. Respon terhadap fenomena ini bermacam-macam. Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa yang mengharamkan Jilboob karena tidak sesuai dengan ajaran agama Islam. Desainer, Jenahara memandang Jilboob sebagai bentuk kurangnya pengetahuan tentang pemakaian hijab yang benar. Dian Pelangi memandang Jilboob sebagai salah satu tahapan awal seseorang saat memutuskan berhijab. Zaskia Mecca melihat Jilboob bukanlah suatu masalah karena orang-orang hanya melihat luarnya saja dan yang berhak menilai dosa tidaknya seseorang hanya Tuhan. Pendapat Zaskia pun menuai kritik, salah satunya di forum diskusi Kaskus. Kritik terhadap Zaskia kebanyakan menyerang pribadi Zaskia dibanding pendapatnya. JIL atau Jaringan Islam Liberal menganggap Jilboob adalah persoalan pribadi dan tidak perlu menjadi objek kritikan. Kontroversi tentang Jilboob membawa hasil munculnya standar pemakaian hijab yang benar sesuai aturan agama. Standar aturan pemakaian hijab yang dipakai ada dua, yakni mengikuti langsung cendekiawan muslim tentang aturan hijab yang benar, yaitu menutup dada, longgar, tidak transparan, tidak ketat dan tidak memakai aksesoris. Satunya lagi adalah mengambil sebagian saja pendapat cendekiawan tertentu. Dari banyaknya kontroversi terkait hijab, pada akhirnya, ekspresi kecantikan perempuan muslim terbatas pada pakaian yang longgar, tetapi tidak terbatas pada kebebasan mengekspresikan kecantikan.

Pada bagian Hijab yang Ditemui di Lapangan, Kim menceritakan tentang wawancara Kim dengan beberapa perempuan muslim. Perempuan tersebut diantaranya, perempuan yang bercadar, perempuan yang melepas cadar dan memakai hijab lebar, perempuan berhijab dan perempuan yang tidak berhijab. Keputusan untuk berhijab, bercadar dan melepas cadar dilakukan atas kemauan mereka sendiri dengan alasan salah satunya adalah kenyamanan. Nyaman dalam konteks ini adlah terhindar dari pandangan laki-laki yang membuat mereka merasa menjadi objek seksual semata. Meskipun berhijab dan bercadar, mereka tidak ada bedanya dengan perempuan lain yang juga ingin mempercantik diri dan memakai baju yang modis. Yang membedakan hanyalah, fashion mereka adalah fashion versi lebih panjang dan tertutup. Selain itu, bagi mereka yang bercadar dan berhijab lebar, menunjukkan kecantikan hanyalah ranah spasial. Artinya, mereka masih bisa melakukannya tetapi hanya di tempat yang privat, seperti rumah. Bagi Perempuan yang tidak berhijab keimanan seseorang tidak bisa diukur hanya dengan berhijab atau tidak. Bagi mereka hijab adalah salah satu bentuk kesederhanaan. Maksudnya, seorang perempuan yang berhijab sebaiknya tidak memakai riasan dan bermewah-mewahan. Berhijab juga sebaiknya dilakukan ketika hati sudah siap. Siap dalam konteks ini adalah konsisten seumur hidup untuk memakai hijab dan menjalani kehidupan sesuai tuntunan agama islam.

Buku ini memberikan pandangan kepada pembaca bahwa hijab tak lain hanyalah penanda bahwa pemakainya beragama Islam. Para pemakai hijab yang dijelaskan dalam buku ini, memakai hijab secara sukarela tanpa paksaan dari pihak di luar dirinya. Mereka yang berhijab bukan berarti meninggalkan hal-hal duniawi. Mereka yang juga perempuan tetap bebas berekspresi, mempercantik diri dan mengikuti perkembangan jaman. Pandangan tersebut tentunya berbeda dengan stigma tentang hijab bahwa hijab adalah bentuk opresi, praktik agama yang keras, dan penghambat kebebasan seseorang.

* * *

Biografi Penulis Buku: Kim Hyung Jun adalah Profesor di Departemen Antropologi Budaya, Kangwon National University, Korea. Kim memiliki ketertarikan terhadap Islam di Indonesia dan penelitian terbarunya tentang islam di Indonesia berkaitan dengan tradisi demokratis organisasi islam. Buku yang telah diterbitkan lainnya adalah A Man Running Over the Equator: Reading Indonesia by an Anthropologist (적도를 달리는 남자: 어느 문화인류학자의 인도네시아 깊이 읽기) dan Revolusi Perilaku Keagamaan di Pedesaan Yogyakarta.