Antropologi Islam menurut Talal Asad: Islam sebagai “Tradisi Diskursif”

Dipublikasikan oleh Muhamad Rofiq Muzakkir pada

Asad, Talal. 1986. “The Idea of an Anthropology of Islam” [Konsep Antropologi Islam]. Pusat Pengkajian Arab Kontemporer, Universitas Georgetown.


(Versi ini merupakan versi lebih panjang dari tulisan yang pernah dimuat sebelumnya dalam dua bagian di IBTimes.)

Diskusi tentang bagaimana mengkonseptualisasikan Islam sebagai obyek penelitian (object of inquiry) telah banyak menyita perhatian para pengkaji Islam. Pertanyaan yang menjadi topik diskusi di antara mereka antara lain adalah aspek apa yang perlu dilihat saat Islam dipelajari oleh para peneliti. Pertanyaan yang lebih umum adalah bagaimana memahami dan menjelaskan Islam itu sendiri. Sejauh ini, beragam pendekatan telah banyak dirumuskan oleh para sarjana dari lintas bidang untuk menjawab pertanyaan tersebut. Namun demikian, masing-masing pendekatan tersebut memiliki kelemahan metodologis yang signifikan dan cenderung berdiri secara eksklusif, terpisah dari pendekatan yang lainnya.

Adalah Talal Asad, seorang antropolog beraliran post-strukturalis, mencoba mengatasi kelemahan dari pendekatan-pendekatan tersebut dalam artikel terkenal dari tahun 1986 berjudul “The Idea of an Anthropology of Islam” (Konsep Antropologi Islam) dengan mengajukan satu konsep yang ia sebut “Islam sebagai tradisi diskursif”. Sejak terbitnya artikel tersebut, konsep “tradisi diskursif” yang ditawarkan Talal Asad telah menjadi pendekatan dominan dalam bidang antropologi Islam, dan juga terkenal di antara para pengkaji Islam dalam bidang-bidang lain.

Ia mengajukan gagasannya melalui sudut pandang disiplin ilmu yang ia tekuni, yaitu antropologi. Namun sekalipun latar belakang dan pijakan Asad adalah satu disiplin yang bersifat spesifik, pendekatan yang ia ajukan diakui oleh banyak sarjana lainnya memiliki potensi untuk digunakan lintas disiplin.

Kritik Asad Terhadap Pendekatan-pendekatan Lama

Secara umum pendekatan untuk mengkaji Islam dapat dipetakan ke dalam tiga kategori. Pertama, pendekatan yang paling awal digunakan adalah pendekatan teks yang mengkaji Islam dari referensi tekstual. Islam dilihat dari sudut pandang doktrin teologisnya dan pemikiran para sarjana (ulama) nya. Pendekatan ini dicetuskan oleh para orientalis yang juga disebut sebagai Islamolog. Kelemahan dari pendekatan ini adalah kecendrungannya untuk melakukan reduksi dan esensialisasi Islam. Pendekatan ini mengabaikan keragaman praktek popular berislam kaum muslimin. Islam teks dianggap sebagai universal dan ideal (orthodox), sementara Islam di luar teks dianggap sebagai penyimpangan (heterodox).

Kedua, sebagai respon terhadap pendekatan teks yang ingin melihat single Islam, sarjana humaniora merumuskan pendekatan antropologi terhadap Islam. Pendekatan ini melihat Islam dari sudut pandang keyakinan dan praktek pemeluknya, bukan dari sudut pandang teks. Pendekatan antropologi terhadap Islam memiliki beragam variasi. Yang paling menonjol ada dua, yaitu konsep Clifford Geertz dan Abdul Hamid Zein.

Geertz menekankan bahwa Islam adalah dua fenomena sekaligus: universal dan lokal. Sebagai fenomena lokal, ada banyak perbedaan keyakinan dan praktek di tengah umat Islam. Sebagai fenomena universal, ada dua common element (kesamaan) dalam praktek-praktek lokal Islam, yaitu; pertama, Islam sebagai pengalaman beragama (religious experience) yang terdiri dari dua komponen, yakni pandangan hidup (worldview) dan etos; kedua, Islam sebagai tradisi makna. Secara singkat, pendekatan yang dirumuskan oleh Geertz berusaha mencari titik temu atau apa yang diistilahkan pengkritiknya sebagai family resemblance di antara ragam manifestasi lokal Islam. Geertz membuat kesimpulannya tersebut setelah melakukan komparasi antara model Islam di Maroko dan Islam di Indonesia.

Sebagai respon terhadap pendekatan Clifford Geertz, Abdul Hamid Zein mengajukan gagasan lain. Menurutnya, kelemahan dari pendekatan Geertz adalah kecendrungan melakukan esensialisasi Islam dengan mencari kesamaan-kesamaan dari diversitas Islam. Para antropolog tidak seharusnya mencari titik temu tersebut karena setiap fenomena agama adalah unik. Selain itu, semua manifestasi beragama (baik yang bersifat diskursus maupun praktek) harus diposisikan secara equal.

Zein beragumen bahwa antropologi sebagai pendekatan keilmuan tidak boleh melakukan hirarkisasi terhadap wacana dan praktek beragama orang Islam. Antropologi tidak boleh membedakan antara Islam rakyat (folk Islam) dan Islam elit (elite Islam) dan mencari mana yang paling otentik dan valid dari beragam manifestasi Islam tersebut. Antropologi tidak perlu mencari ortodoksi dalam praktek beragama. Tugas antropologi menurutnya adalah mencari makna dari pengalaman beragama di tingkat lokal.

Proposal yang diajukan oleh Abdul Hamid Zein tersebut tampaknya menjadi pandangan paling favorit yang digunakan untuk mengkaji Islam oleh para antropolog. Namun, pendekatan ini memiliki setidaknya dua kelemahan.

Kelemahan pertama, dengan menganggap sama (dalam pengertian valid dan otoritatif) semua diskursus dan praktek keislaman, pendekatan ini mengarah pada relatifisme reduktif. Framework ini membuat tidak nyaman dua belah pihak sekaligus, yaitu Islamolog, yang terbiasa melihat Islam melalui teks, dan muslim itu sendiri. Muslim dari kelompok mainstream tidak bisa menerima ketika praktek dan keyakinan mereka dianggap sama dengan praktek dari kelompok kecil yang biasanya dianggap sebagai menyimpang. Selain itu, dengan menganggap sama semua manifestasi Islam, antropologi sebenarnya telah mengambil alih tugas teologi yang berkecendrungan memberikan justifikasi.

Kelemahan kedua, pendekatan ini mengabaikan proses perubahan atau reformasi yang terjadi di tengah lokalitas umat Islam setelah persinggungan mereka dengan bentuk Islam yang lain. Pendekatan ini mengandaikan seolah-olah praktek lokal itu terkurung, tidak berinteraksi, konstan (tidak berubah) saat mengalami perjumpaan dengan manifestasi Islam yang berbeda.

Pendekatan ketiga, selain pendekatan teks dan antropologi, adalah pendekatan sosiologi dan ilmu politik. Pendekatan ini menekankan akvitisme sosial umat Islam. Manifestasi Islam, baik yang berupa wacana ataupun praktek, dianggap sebagai respon terhadap kondisi material tertentu, yaitu kondisi politik ekonomi. Pendekatan ini umumnya melihat Islam sebagai sebuah ideologi kontemporer yang merespon tantangan liberalisme Barat. Penekanan pada pendekatan ini adalah pada faktor struktur material yang membentuk sebuah ide. Kelemahan dari pendekatan ini bersifat ganda, yaitu mengesampingkan pentingnya teks Islam dalam membentuk ide dan menghilangkan agensi umat Islam. Umat Islam dianggap sebagai tawanan dari kondisi material yang melingkupi mereka.

Tawaran Asad: Islam sebagai Tradisi Diskursif

Menyadari kelemahan-kelemahan pendekatan sebagaimana diuraikan di atas, Talal Asad mengajukan konsep Islam sebagai tradisi diskursif. Dalam merumuskan konsep ini, Asad dipengaruhi oleh konsep tentang tradition yang dirumuskan oleh filosof Katolik kontemporer, Alasdair MacIntyre, konsep discourse dari Michel Foucault, dan konsep orthodoxy (doxa) dari Pierre Bourdieu.

Untuk memahami Islam dan masyarakat muslim, para pengkaji, khususnya antropolog, menurut Asad harus melihat peran penalaran khas umat Islam (Islamic reasoning), yaitu penalaran yang berbasis pada al-Quran dan Hadis. Para antropolog dan pengkaji Islam secara umum harus memulai studi mereka dengan terlebih dahulu memahami cara berfikir spesifik umat Islam, yaitu berbasis pada sumber ajaran Islam. Asad menulis:

“Jika seseorang ingin menulis antropologi Islam, ia harus memulai, sebagaimana muslim melakukannya, dari konsep tradisi diskursif yang selalu memasukkan dan mengkaitkan dirinya dengan teks-teks dasar, yaitu al-Quran dan hadis.”

Asad mengingatkan para peneliti bahwa Islam adalah tradisi diskursif. Umat Islam dalam ruang dan waktu manapun selalu berupaya untuk melegitimasi praktek-praktek beragama mereka dengan kembali pada rujukan otoritatif. Sebagai tradisi diskursif, Islam memerintahkan pemeluknya untuk selalu mencari bentuk beragama yang benar serta mencari tujuan dalam mempraktekkan ajaran keagamaan (instruct practitioners regarding the correct form and purpose of a given practice).

Adalah sebuah fakta yang harus dipahami oleh para peneliti, lanjut Asad, bahwa umat Islam selalu berusaha untuk mencari legitimasi dan otentisitas dengan menemukan ittisaliyyah (ketersambungan) dengan otoritas di masa lalu. Bagi umat Islam, proses pencarian inilah yang menentukan satu praktek beragama sebagai islami atau tidak. Sebuah doktrin atau praktek beragama baru akan dianggap otoritatif dan otentik jika telah diterima oleh masyarakat muslim beberapa generasi ke belakang atau memiliki jangkar dari tradisi intelektual di masa lalu.

Selain melihat otoritas pada teks dan preseden dari masa lalu, tradisi Islam juga memiliki jangkar ke depan. Artinya, tradisi tidak sekedar replikasi model dari masa masa lalu. Dalam hal ini Asad sesungguhnya tengah mengkontraskan pandangan Islam tentang tradisi dengan pandangan Barat. Dunia Barat, khususnya paska periode Pencerahan (the Enlightenment), cenderung melihat tradisi sebagai sesuatu yang serba negatif. Tradisi dimaknai sebagai “sekumpulan doktrin yang sudah tidak dapat berubah atau fakta kebudayaan yang sudah jadi”. Tidak hanya itu, tradisi juga dianggap sebagai lawan dari nalar (the opposite of reason). Bangsa yang memasuki fase modernity (kemodernan), menurut cara berfikir ini, adalah bangsa yang memutus diri dari tradisi.

Dalam Islam, menurut Asad, tradisi bukan sesuatu yang statis. Tradisi dapat berubah karena ia merespon tuntutan masa kini. Tradisi bukan berarti atavisme, regresifisme dan penolakan terhadap perubahan. Sebagai tradisi, Islam selalu memiliki kemampuan untuk bertransformasi menyesuaikan dengan tuntutan kekinian, tanpa kehilangan otentisitas dan kontinuitasnya dengan masa lalu. Hal itu disebabkan penalaran Islam memberi peluang untuk negosiasi antara praktek masa lalu sebagai referensi dan tuntutan masa kini dan masa depan.

Dalam bahasa yang lain, para peneliti Islam harus melihat bagaimana sebuah wacana dan praktek keislaman terhubung dengan preseden masa lalu, dan bertransformasi menyesuaikan diri dengan tuntutan aktual dan obyektif yang melingkupinya.

Power dan Kontestasi atas Ortodoksi

Aspek lain yang perlu dipahami oleh pengkaji Islam adalah fakta bahwa tradisi Islam tidak homogen melainkan heterogen. Adalah suatu kekeliruan mengasumsikan adanya hemogenitas tradisi Islam sebagaimana dilakukan sebagian pengkaji dari luar. Dalam hal ini, Asad membenarkan tesis koleganya sesama antropolog, Abdul Hamid Zen, tentang adanya multiple Islams.

Perbedaan diantara keduanya adalah menurut Asad manifestasi Islam yang beragam tersebut selalu terlibat kontestasi satu dengan yang lain. Dengan kata lain, Asad menyatakan bahwa tradisi selalu bersifat contested (diperdebatkan). Kontestasi ini, sebagaimana telah disinggung sebelumnya, melahirkan ortodoksi (keyakinan yang dianggap benar oleh mayoritas) dan ortopraksi (keyakinan yang dianggap sebagai menyimpang oleh mayoritas).

Pandangan Asad yang demikian berbeda secara kontras dengan pandangan Clifford Geertz yang melihat tradisi lahir sebagai konsekwensi langsung dari simbol agama. Dengan kata lain, menurut Geertz, tradisi adalah produk dari simbol.

Menurut Asad, simbol tidak bisa berfungsi dengan sendirinya. Ia baru memiliki kekuatan (efikasi), karena ada aktor yang memainkannya. Antropologi agama secara umum dan antropologi Islam secara khusus, menurut Asad, bukan hanya melihat bagaimana sebuah simbol keagamaan melahirkan keyakinan dan praktek keagamaan, tapi juga melihat bagaimana power (kekuasaan) dalam relasi sosial membuat simbol tersebut berfungsi.

Para antropolog dengan demikian harus melihat bagaimana sebuah kekuasaan dijalankan (how powers are exercised) atau membuat pertanyaan tentang kekuasaan (the question of power). Dengan demikian Asad telah mengatakan bahwa tidak ada suatu simbol yang murni bersifat efektif, tapi ekfektifitas dan relijiusitas itu selalu dikonstruksi oleh aktor yang memiliki power.

Selain melihat bagaimana kekuasaan dimainkan oleh para aktor untuk membentuk suatu wacana dan praktek yang bersifat Islami, lanjut Asad, antropolog juga harus melihat kontestasi antara pemilik power tersebut. Proses kontestasi inilah yang menurut Asad pada gilirannya akan melahirkan ortodoksi dan heterodoksi. Asad menulis:

“Kapan saja umat Islam memiliki kekuatan untuk mengatur, menegakkan, membuat persyaratan, atau menyesuaikan praktik [beragama] yang benar, [atau memiliki kekuatan] untuk mengutuk, mengeluarkan, melemahkan, atau mengganti [praktek beragama] yang salah, itulah wilayah ortodoksi. Bagaimana kekuatan-kekuatan tersebut digunakan, kondisi sosial, ekonomi, politik yang memungkinkan untuk menggunakan kekuatan itu, dan perlawanan yang ditemui dari baik muslim ataupun non-muslim [saat kekuatan itu digunakan] juga menjadi obyek perhatian antropologi Islam. [Penggunaan kekuataan itu adalah obyek penelitian antropologi] terlepas apakah obyek riset yang diteliti adalah [kehidupan] perkotaan atau pedesaan, masa kini atau masa lalu”.

Antropolog yang mengkaji Islam, menurut Asad, juga harus melihat bagaimana peran kekuasaan dalam membentuk tradisi Islam dan bagaimana dalam proses penggunaan kekuasaan tersebut terjadi perlawanan. Antropologi Islam harus melihat proses terbentuknya ortodoksi dan heteredoksi.

Dalam hal perlunya melihat power (kekuasaan) dalam tradisi Islam, jelas Asad sangat dipengaruhi oleh pemikiran Michel Foucault tentang pengaruh power pada discourse (wacana). Menurut Foucault, sebuah discourse selalu dibentuk oleh kekuasaan. Mengikuti alur fikir Foucault, bagi Asad, sebuah tradisi Islam selalu dibentuk oleh relasi kuasa. Kekuasaan tersebut tidak terkonsentrasi pada satu pihak tertentu, tetapi dispersed (terpencar) atau bisa ada di mana saja.

Dengan kata lain, kekuasaan tidak hanya ada pada pemimpin politik atau militer, namun juga terletak pada institusi yang lebih mikro seperti tokoh agama (syaikh, kiai, ustaz), institusi (sekolah, lembaga birokasi, rumah sakit, majelis ulama), bahkan juga ada pada keluarga (ayah, suami, ibu, istri dan lain-lain). Aktor-aktor itulah yang perlu juga dilihat oleh para pengkaji, khususnya antropologi, saat melihat tradisi Islam.

Satu hal yang perlu dicatat bahwa antropologi jangan sampai kehilangan keseimbangan analisis. Penelitian antropologi jangan hanya melihat faktor power saja, atau sebaliknya hanya melihat aspek Islamic reasoning (penalaran) saja. Riset antropologi Islam juga harus melihat bagaimana power itu digunakan dengan penalaran. Inilah yang dimaksudkan oleh Talal Asad dalam pernyataannya: “ortodoksi itu bukan sekedar soal ide-ide saja, tetapi juga hubungan yang bersifat unik, yaitu hubungan kekuasaan”.

Mengkaji Islam dengan hanya memperhatikan faktor power saja akan mereduksi tradisi menjadi hanya sebagai produk sosio-ekonomi politik. Sebaliknya, melihat Islam hanya sebagai penalaran akan gagal memahami bahwa wacana Islam tidak lahir dari ruang vakum.

Kelebihan Pendekatan “Tradisi Diskursif”

Hemat penulis, setidaknya ada empat kelebihan dari konsep yang diajukan oleh Talal Asad ini.

Pertama, konsep tradisi diskursif sangat bermanfaat digunakan sebagai framework untuk memahami diversity (keragamaan) dalam pelbagai manifestasi lokal Islam serta hubungannya dengan Islam sebagai agama global. Konsep ini tidak mengurung satu fenomena lokal dalam ruang tertutup, tetapi menghubungkannya dengan identitas universal Islam.

Kedua, konsep ini merekonsiliasi antara pendekatan Islamologi yang melihat teks dan pendekatan antropologi yang berkecendrungan melakukan penelitian lapangan (fieldwork). Selama ini keduanya diposisikan terpisah dan tidak pernah saling menyapa. Melalui konsep tradisi diskursif, keduanya dapat diintegrasikan sekaligus.

Ketiga, konsep ini dapat menjadi framework untuk melihat hubungan antara dunia ide dan struktur material (ekonomi dan politik) yang membentuk ide-ide itu. Asad memasukkan analisa tentang power (kekuasaan) dalam perangkat konsepnya untuk melihat wacana dan praktek beragama umat Islam.

Keempat, konsep ini bermanfaat untuk melihat transformasi atau perubahan dalam pemikiran Islam atau budaya Islam. Asad tidak hanya menekankan tentang the past (masa lalu) saat melihat tradisi Islam, tapi juga memasukkan unsur change yang meliputi waktu sekarang (present) dan masa depan (future).

* Penulis adalah kandidat doktor di Arizona State University