Antropologi Jihad: Pendekatan Darryl Li dalam The Universal Enemy

Dipublikasikan oleh Sawyer Martin French pada

Li, Darryl. 2019. The Universal Enemy: Jihad, Empire, and the Challenge of Solidarity [Musuh Bersama: Jihad, Imperialisme, dan Tantangan Solidaritas]. Penerbit Universitas Stanford.


Buku ini membahas perang di Bosnia pada awal tahun 1990an, dan mengambil fokus pada pasukan para mujahid (Katiba) yang datang dari segala penjuru dunia demi membela umat Islam di Bosnia, setelah mereka terancam oleh program pembersihan etnik yang dilakukan pihak Serbia. Mengingat Darryl Li adalah seorang antropolog, dan bukan sejarawan, maka buku ini tidak sekedar menceritakan informasi umum tentang perang dan pasukan tersebut. Li menggunakan konteks ini sebagai latar belakang dan mengajak kita memikirkan ulang pemahaman tentang konsep-konsep seperti jihad, terorisme, dan universalisme, dengan menyelidiki dinamika politik yang terkandung di dalamnya.

Sejauh ini, literatur akademik tentang “jihad” secara umum cukup diwarnai oleh kepentingan aparat keamanan internasional dalam konteks Perang Melawan Teror (Global War on Terror, disingkat GWOT). Maka, isinya cenderung memihak kepentingan imperialis Amerika Serikat dan mengambinghitamkan para mujahid, menganggap mereka sebagai orang-orang biadab dan “musuh bersama” (universal enemy) bagi kemanusiaan dan seluruh peradaban modern.

Bias akademik tersebut paling jelas muncul dalam istilah “teroris,” yang menuruk Li tidak memiliki makna yang jelas, melainkan sekedar retorika politik alih-alih analisis kritis. “Konsep terorisme saat ini hanya berguna untuk mendelegitimasi kegiatan politik dari pihak yang dituduhnya” (25). Maksudnya, penyebutan seseorang sebagai “teroris” merupakan klaim bahwa kekerasan yang dilakukannya tidak berlandaskan prinsip yang sah (tidak seperti kekerasan yang dilakukan aparat negara atau intervensi militer). “Teroris” itu orang gila, tak layak didengarkan secara serius.

Sebagai pembanding kritis, Li tidak meletakkan pasukan jihad di Bosnia dalam kerangka “terorisme.” Ia secara serius berusaha untuk memahami pemikiran dan proyek politik yang dikembangkan dalam wacana dan gerakan “jihad.” Dalam menganalisis hal ini, Li menggunakan konsep “universalisme” untuk memahami dinamika politik jihad dan membandingkannya dengan proyek politik lain seperti GWOT dan Gerakan Non-Blok (GNB, atau Non-Aligned Movement, NAM).

Universalisme adalah sifat dari gerakan atau pemikiran politik yang mengaku bahwa nilai-nilainya tidak hanya berlaku dalam skala lokal saja, melainkan universal. Dalam kajian pascakolonial, istilah “universalis” sering digunakan untuk mengkritisi imperialisme Barat, yang berusaha menyebarkan filsafat, struktur politik, dan gaya hidupnya secara universal di wilayah-wilayah jajahannya. Li tidak membantah kritik ini dan mengandaikan bahwa Islam dan Barat sama-sama universalis (maka sama-sama jahat). Ia menggunakan universalisme sebagai perangkat analisis untuk menerangi serta membandingkan “aspirasi-aspirasi terstruktur” (structure of aspirations) yang terkandung dalam berbagai proyek politik.

Menurut Li, universalisme tidak bertujuan untuk menghapus perbedaan dan membuat semuanya menjadi seragam. “Universalisme tidak, dan memang tidak bisa, menuntut kesamaan total; akan tetapi, ia adalah sebuah klaim untuk melampaui perbedaan, yang kemudian membutuhkan cara supaya perbedaan itu bisa dikelola dan dimaknai ulang” (12). Setiap proyek universalis mesti memiliki kerangka tentang siapa yang sudah termasuk di dalamnya (horizon of belonging), “yang menganggap segolongan orang sudah termasuk, dan bahwa orang lain bisa dimasukkan” (14).

Dalam kajian atas “universalisme” ini, analisis Li tidak dilakukan hanya dalam ranah pemikiran saja. Ia juga bertumpu pada dinamika yang lebih riil, seperti bagaimana universalisme muncul dalam praktek dan diwujudkan dalam organisasi dan lembaga.

Buku ini terdiri dari dua bagian. Bagian pertama, yang berfokus pada para mujahid dan pasukannya di Bosnia, terdiri dari empat bab (“Migrasi,” “Tempat,” “Kewenangan,” dan “Landasan”). Bagian kedua membandingkan proyek mujahid dengan proyek-proyek politik lain, yang dibagi dalam tiga bab (GNB, Peacekeeping, dan GWOT).

Bab 1 membahas dua jaringan migrasi yang mengantar mayoritas para mujahid ke Bosnia. Yang pertama adalah jaringan Samudra Hindia barat yang dimotori diaspora Hadrami (dari daerah Hadramaut, Yaman). Yang kedua adalah jaringan Laut Tengah (Mediterranean), di mana banyak orang dari negara-negara Arab sudah migrasi ke Eropa untuk mencari rejeki.

Li mencatat bahwa jaringan-jaringan ini membantah klaim yang sering dilontarkan dalam wacana media Barat bahwa para mujahid adalah unsur “asing” yang tidak layak hadir dalam konflik Bosnia. Pandangan ini mengabaikan jaringan migrasi yang sudah lama eksis dan membangun batasan moral seiring pembatasan negara. Menurut Li, “memosisikan ‘penjuang asing’ sebagai sebuah masalah—atau bertanya kenapa orang-orang ikut campur dalam ‘perangnya orang lain’—melegitimasi negara-bangsa [nation] sebagai satu-satunya pelaku kekerasan yang sah” (31). Li mempertanyakan kerangka nasionalis ini (berlandasan identitas kewarganegaraan) dalam memilah siapa yang layak dan tidak layak hadir dalam sebuah konflik. Hal ini terlihat dalam bahasa yang digunakan oleh para mujahid (“ansar,” bukan “asing”).

Bab 2 membahas perbedaan pemahaman Islam dan perdebatan yang terjadi dalam konteks perang Bosnia dan keragaman para mujahid. Li mencatat bahwa perbedaan antara “Islam Bosnia” dan “Islam Arab” menjadi sorotan bagi berbagai pihak dengan kepentingan masing-masing. Dalam konteks liberalisme Barat dan GWOT, “Islam Bosnia” dianggap lebih moderat dan terancam oleh aliran Islam yang lebih keras. Sedangkan dalam wacana Salafi, “Islam Bosnia” dianggap penuh dengan khurafat dan kelalaian, sehingga harus diluruskan (54).

Bab ini menggambarkan dinamika di dalam “Islam Bosnia” tersebut, serta sejarah lembaga-lembaga umat di bawah pemerintah Yugoslavia hingga saat perang, terutama IZ (Islamska Zajednica), badan resmi nasional yang mengelola urusan agama Islam. Li bertumpu pada peran nasionalisme dan sekularisme (dalam pengertian Asad, sebagai pengelolaan kehidupan beragama) dalam kehidupan beragama Islam di Bosnia. Pada saat perang, banyak Muslim menganggap bahwa versi Islam yang didukung oleh IZ tidak lurus dan benar, sehingga mereka bergabung dengan pasukan para mujahid (66). Dalam bab ini, kita bisa melihat bahwa konteks perang ini menjadi pemicu bagi semacam gerakan kesalehan atau kebangkitan Islam (Islamic Revival) di Bosnia, yang mirip dengan gerakan-gerakan lain di seluruh dunia (seperti Tarbiyah dan Hijrah di Indonesia) sejak tahun 1980an.

Bab 3 membahas jihad sebagai proyek yang menantang “kedaulatan” dalam sistem negara-bangsa internasional yang dominan saat ini. Li membahas pemikiran Abdullah Azam (yang pernah terlibat dalam gerakan al-Qaidah), terutama klaimnya bahwa jihad untuk membela umat Islam itu “fardu ayn.” Ini tidak hanya berarti bahwa setiap individu wajib melakukannya, tetapi juga bahwa keputusan berjihad tidak ada di tangan penguasa (wali), dan individu maupun kelompol tidak harus mendapat izin pemerintah sebelum berangkat berjihad.

Selain itu, Li juga mencatat bahwa jihad di Bosnia memiliki hubungan dengan sistem negara-bangsa yang cukup rumit. Pasukan mujahid Katiba terutama bertujuan untuk membela umat Islam, tapi juga cukup sering bekerja sama dengan pemerintah dan tentara resmi Bosnia. Perbedaan ini juga merupakan sumber perdebatan bagi para mujahid.

Bab 4 membahas bagaimana proyek universalis jihad menanggapi perbedaan, terutama mengenai etnis-ras dan aliran. Li menolak istilah “Jihadisme Salafi” karena sebenarnya jihad itu bukan hanya hasil dari pemikiran Salafi, dan dalam kenyataannya para mujahid di Bosnia terdiri dari orang-orang Islam yang cukup beragam alirannya. Menarik dicatat juga bahwa para Salafi tidak suka menggunakan istilah “Salafi” sendiri. Mereka lebih senang disebut sebagai “Muslim” saja—seolah Islam itu Salafisme. Menurut Li, ini adalah sebuah bentuk universalisme, “sebuah klaim atas hak untuk menetapkan isi-tujuan dari proyek universal, untuk menentukan standar dan nilai bagi diri sendiri serta orang lain” (109).

Dalam kehidupan para mujahid, keragaman ras dan daerah asal bisa diatasi dengan nilai-nilai Islam yang universal: akhlak mulia dan persaudaraan. Yang dominan dalam konteks ini adalah pemahaman Salafi. Akan tetapi, Li juga menunjukkan bahwa ajaran dan nilai-nilai mereka cukup dipertarungkan (misalnya dengan anggota yang tetap merokok, menyebut Nabi Muhammad sebagai “maulana,” dan mengikuti ulama mazhab), hasil dari keragaman pasukan dengan anggota dari seluruh dunia.

Sebelum memasuki Bagian II, ada bab kecil yang membahas hubungan antara universalisme dan kekerasan. Di sini, Li mencatat bahwa proyek-proyek universalis (seperti jihad, tapi juga seperti GWOT) punya kerentanan untuk melakukan kekerasan demi memperjuangkan nilai-nilai yang dijunjungnya. Misalnya, pembantaian yang dilakukan Katiba terhadap 24 warga sipil Croat (etnis lain) pada tahun 1993 dan terhadap 53 tahanan dari tentara Serb (etnis lain) pada tahun 1995 (136). Tujuan Li dalam buku ini bukan pembelaan atau pencelaan atas kekerasan seperti ini, melainkan analisis untuk memahami dinamikanya.

Bagian II dimulai dengan Bab 5, yang mengangkat tema GNB (Gerakan Non-Blok) yang pernah dipromosikan oleh Yugoslavia (republik yang pecah pada tahun 1992, yang melatarbelakangi perang Bosnia). GNB sebagai proyek sosialis mungkin akan dianggap bertolak belakang dengan jihad. Sedangkan Li menunjukkan bahwa ada cukup banyak kesamaan dari keduanya, termasuk pola migrasi dengan dunia Arab (dengan negara-negara seperti Mesir dan Suriah yang juga menggerakkan GNB). Ada juga orang-orang sosialis yang pernah dilatih di Kuba yang kemudian bergabung dengan Katiba (152). Tetapi setelah jatuhnya Yugoslavia dan selesainya perang Bosnia, para sosialis dan mujahid mulai dianggap sebagai unsur-unsur “asing” yang tidak layak berada di negara-bangsa milik orang lain.

Bab 6 membahas pasukan “Peacekeeping” (penjaga kedamaian) yang dikirim ke Bosnia oleh PBB. Gerakan ini memiliki kemiripan juga dengan para mujahid: “keduanya berada di negara asing dan terlibat dalam proyek yang dilegitimasi oleh bahasa yang tertuju kepada seluruh umat manusia, dan juga termasuk dalam pasukan yang bersenjata” (171). Keduanya berjuang atas nama sebuah kelompok yang universal: “komunitas internasional” (international community) bagi para Peacekeepers, dan “umat” bagi para mujahid. Ada juga orang-orang Muslim yang menjadi anggota dari pasukan Peacekeeping, menjadikan hubungan antara Katiba dan pasukan Peacekeeping cukup baik dalam bekerjasama. Namun lagi-lagi perbedaannya adalah bahwa pasukan PBB tersebut dipuji dan dilegitimasi dalam wacana media Barat, sedangkan para mujahid dicurigai. Alhasil, setelah perang selesai, semua pejuang “asing” dipulangkan (walaupun pasukan Peacekeeping tidak) (190).

Bab 7 membahas Global War on Terror (GWOT), yang Li sebut sebagai “universalisme paling kuat/berpengaruh dalam buku ini” (195). Di dalam konteks GWOT setelah peristiwa September 2001, para mujahid yang menetap di Bosnia setelah perang selesai (sebagian karena menikah dengan perempuan Bosnia) tiba-tiba semakin dicurigai oleh pemerintah Bosnia dan rezim internasional. Banyak dari mereka yang dipenjara dan dipulangkan.

Di sini, Li sudah berangkat dari fakta bahwa GWOT hadir dalam konteks kekuasaan Amerika Serikat, dan juga turut mengokohkan kedaulatan AS di seluruh dunia. Ia juga berargumen bahwa kedaulatan tersebut lebih dari sekedar kekuasaan dalam lembaga dan tentara. “Kedaulatan bukan dominasi Amerika Serikat terhadap dunia secara umum, melainkan logika hukum yang mengatur, menata, dan melegitimasi dominasi tersebut melalui agensinya, yakni negara-negara lain yang konon merdeka dan setara” (196).

Salah satu isu yang sering dipermasalahkan oleh kalangan aktivis anti-GWOT adalah Guantanamo Bay (disingkat GTMO), sebuah penjara yang berada di luar sistem hukum AS (juga terletak di pulau Kuba) yang melanggar HAM. Akan tetapi, Li menegaskan bahwa kekerasan yang dilakukan atas nama GWOT jauh lebih besar dari hal-hal seperti GTMO yang dilakukan pemerintah AS sendiri. Sebenarnya semua penangkapan, penyiksaan, dan deportasi yang dilakukan di seluruh dunia atas nama “keamanan” atau melawan radikalisme adalah bagian dari GWOT dan kedaulatan AS. Hegemoni ini (yang sudah benar-benar global dan tidak hanya terletak pada lembaga-lembaga khusus di AS) akan jauh lebih susah untuk dilawan.

Buku ini tidak memiliki penutup, karena Li tidak ingin mengesankan bahwa tulisannya telah “menutup” perdebatan tentang semua persoalan yang dibahas di dalamnya. Buku ini, oleh karenanya, diharapkan bisa memantik diskusi-diskusi yang lebih kritis tentang jihad dan “terorisme.”