Membaca Pengalaman Kulit Hitam dan Perbudakan Trans-Atlantik melalui Sejarah Hidup

Dipublikasikan oleh Amrina Rosyada pada

Hurston, Zora Neale. 2018. Barracoon: The Story of the Last “Black Cargo” [Barracoon: Kisah dari Sosok “Kargo Hitam” Terakhir]


(Peringatan: deskripsi gamblang tentang kematian)

Di Amerika Serikat, Februari adalah Black History Month dan saya tidak bisa berhenti berpikir tentang Barracoon. Buku ini ditugaskan sebagai bacaan wajib kelas antropologi linguistik yang saya ambil kwartal musim gugur lalu; dan sampai hari ini menjadi salah satu karya klasik antropologi yang mendapat tempat spesial dalam memori saya. Bermodelkan sejarah hidup atau life-history, Barraccoon menceritakan kisah Cudjo Lewis—seorang penyintas perbudakan—yang diperdagangkan secara ilegal ke Amerika Serikat lima puluh tahun setelah pergadangan budak dilarang pada tahun 1807. Buku ini menyajikan kisah yang intim—namun gamblang—tentang bagaimana kekerasan dari praktik perbudakan meninggalkan banyak bercak dan trauma dalam tubuh seorang berkulit hitam.

Barracoon dibuka dengan kisah berlayarnya kapal terakhir yang membawa kargo (Anda tidak salah baca; para pebudak [slavers] menyebut penumpang-penumpang kulit hitam yang mereka bawa dengan sebutan “kargo” seakan-akan mereka hanyalah muatan barang) dari pantai Barat Afrika ke Alabama, Amerika Serikat pada tahun 1860. Kapal ini bernama Clotilda dan dikepalai oleh Kapten Foster, yang sepulangnya ke Amerika Serikat berhasil membawa sekitar 130 orang—dengan proporsi laki-laki dan perempuan sama besar—untuk dijadikan budak di berbagai perkebunan. Salah satu dari tubuh-tubuh yang dicerabut dari tanah Afrika adalah Kossula—atau, dalam nama Amerikanya, Cudjo Lewis—yang ketika itu masih belia.

Penulis Barracoon sendiri, Zora Neale Hurston, adalah seorang antropolog dan folkloris perempuan kulit hitam pada awal abad ke-20—kendati statusnya sebagai antropolog kerap terhalangi citranya sebagai novelis. Pada masanya, ia merupakan satu-satunya mahasiswa berkulit hitam di Barnard College, New York, tempatnya menempuh pendidikan bachelor (setara S1). Ia merupakan salah satu dari sekian murid Franz Boas—digandang-gadang sebagai “Bapak Antropologi Amerika”—ketika tradisi antropologi Amerika sedang dalam masa infansinya. Hurston sendiri banyak menaruh perhatian kepada folklor orang-orang Afrika-Amerika dalam risetnya. Perjalanan akademik ini menarik, lantaran di tengah pusaran antropolog kulit putih satu generasinya yang meneliti masyarakat asing, Hurston memilih untuk meneliti diaspora Afrika di Amerika seperti dirinya. Saya menyayangkan fakta bahwa karya-karya Hurston tidak terlalu dirayakan sebagaimana karya Margaret Mead dan Ruth Benedict.

Mengutip blog Association for Feminist Anthropologists, sumbangsih Hurston dalam dunia antropologi tidak berhenti dalam tataran isu saja. Namun, Hurston juga menjadi pionir dalam penggunaan “pendekatan diaspora” dalam risetnya mengenai masyarakat Afrika-Amerika. Pendekatan ini, sebagaimana dikatakan oleh antropolog Irma McClaurin, menekankan pada kontinuitas kultural dan juga perbedaan yang muncul di antara diaspora Afrika yang tersebar—baik di Amerika dan Eropa—sebagai akibat dari perbudakan transatlantik. Barracoon menjadi salah satu contoh yang baik, di mana Hurston menceritakan kisah seorang diaspora Afrika Barat yang tinggal di Amerika Serikat setelah diperdagangkan sebagai budak.

Buku ini dituturkan melalui sudut pandang orang pertama: Hurston mengajak kita untuk menilik cerita Cudjo melalui “suaranya” sendiri. Sebagai narator, Hurston begitu piawai dalam menyoroti Cudjo dengan lampu panggung, memberikannya peran utama dalam buku ini. Dalam bagian Prakata, ia menuliskan bahwa Cudjo “…has been permitted to tell his story in his own way without the intrusion of interpretation” (hal. 3). Tidak hanya mempertahankan narasi Cudjo, Hurston juga mempertahankan aksen dan cara Cudjo berbicara melalui transkripsinya. Saya sendiri begitu menghargai upaya Hurston dalam menuliskan kembali tuturan Cudjo dalam ejaan African-American Vernacular English (AAVE) ketimbang ejaan Inggris-Amerika standar. Hingga hari ini, banyak yang masih memandang AAVE sebagai bahasa yang “kurang intelek” dibandingkan bahasa Inggris-Amerika standar. Maka, cara Hurston menuliskan ulang ujaran Cudjo dalam AAVE dapat ditafsirkan sebagai usahanya untuk menjadikan AAVE sebagai bahasa yang sama pantasnya untuk dicetak di dalam sebuah buku akademik. Namun demikian, perlu diingat bahwa upaya ini juga beresiko dalam mereproduksi stereotip orang-orang kulit hitam sebagai penutur tunggal AAVE.

“Edem etie ukum edem etie upar”: Sepohon, Dua Kayu

Barraccon disusun secara kronologis mengikuti siklus hidup seorang Cudjo Lewis. Lima bab awal didedikasikan untuk membahas tanah air Cudjo di Afrika Barat dan kehidupannya sebelum dijual sebagai budak. Bab I dalam buku ini menceritakan sekilas mengenai tempat asal Cudjo sebelum berpindah ke Amerika Serikat. Bab II, yang menuturkan mengenai kuasa raja setempat dalam sistem hukum di suku Akia’on, menceritakan betapa sang raja merupakan sosok yang sangat berpengaruh dalam perihal hukum di tempat Cudjo berasal. Misalnya, tidak ada yang berhak untuk mengambil kumis leopard buruan sebelum sang raja, dan tidak ada pula yang berwenang untuk melakukan penghakiman kepada seseorang selain sang raja. Cudjo juga menceritakan pada Bab III tentang bagaimana orang-orang di tanah airnya berduka atas kematian seseorang: perempuan menangis tanpa henti dan meraungkan lagu perkabungan, tamu duka laki-laki terus mengalir seperti air sungai. Cerita mengenai pengasuhan anak dan ritual inisiasi—yaitu ritual yang menandai masuknya seseroang ke dalam kedewasaan—diceritakan dengan jenaka oleh Cudjo pada Bab IV.

Bab V merupakan bab yang menuturkan permulaan kisah penawanan Cudjo. Sebuah perang antara suku Akia’on dan Dahomey pecah, dan suku Cudjo menjadi pihak yang kalah. Kepala-kepala berlinangan di tanah tanpa dikubur, dan beberapa orang dari suku Akia’on—termasuk Cudjo—yang menjadi tawanan perang harus tidur berlantaikan tanah.

Zora Neale Hurston

Bab VI mengisahkan titik liminal dalam kisah hidup Cudjo, di mana ia harus tinggal di sebuah barracoon sebagai ruang yang memisahkan Afrika sebagai rumah dan tanah Amerika yang sama sekali baru. Cudjo ingat betul bagaimana ia dirumahkan di barracoon selama tiga minggu, sebelum seorang kulit putih—Kapten Foster—memilih sekumpulan orang untuk dibawa pergi dengan kapal ke tanah Amerika. Rantai yang menahan tubuh Cudjo di barracoon memang dilepas, namun hanya untuk dikenakannya kembali—secara literal dan kiasan—setelah ia dijadikan budak di sebuah perkebunan di Alabama.

Tidak cukup dipindahkan ke tanah yang asing, di Amerika Serikat Cudjo juga dipaksa untuk melakukan kegiatan yang juga ganjil baginya, yaitu berkebun dan bertani. Ia mengisahkan di Bab VII bahwa ia dan lainnya kerap menangis pada malam hari, meratapi fakta bahwa mereka bukan lagi manusia yang bebas. Selama lima tahun enam bulan Cudjo harus menjalani praktik tidak manusiawi ini, di bawah pedih lecutan dan bentakan dari pemilik perkebunan.

Kabar penghapusan perbudakan—yang diceritakan pada Bab VIII—sampai ke telinga Cudjo sebagai hujan yang menghapus kemarau panjang. Sebagaimana ia tuturkan, “…we so glad, we make de drum and beat it lak in de Affica soil” (hal. 65). Namun demikian, kebahagiaan ini juga membawa kebingungan: apa yang harus Cudjo dan kawan-kawannya lakukan sekarang? Repatriasi ke Afrika membutuhkan uang yang tidak sedikit dan tidak ada satu pun pemiliki perkebunan yang sudi memberi mereka petak tanah. Maka, pilihan satu-satunya adalah bekerja keras untuk membeli tanah dan membangun komunitas kecil, dari nol.

Bab selanjutnya, Bab IX, didedikasikan sebagai patahan dari buku yang membahas tentang kehidupan berkeluarga di tanah Amerika. Dengan seorang perempuan kulit hitam yang ia temui di Amerika, Cudjo memiliki enam anak—yang kesemuanya memiliki peruntungan yang buruk lantaran ketidakadilan rasial yang masih terus berlanjut. Ia menceritakan bagaimana orang-orang kulit putih memanggil anaknya “…ig’nant savage and… kin to monkey” (hal. 73). Kematian anak perempuannya karena akses kesehatan yang tak memadai menjadi maut yang pertama kali mengetuk pintunya. Seakan tidak cukup, salah satu anak laki-lakinya meninggal lantaran seorang kulit putih menembak lehernya hingga berlubang.

Cudjo menceritakan kemalangannya sendiri pada Bab X, di mana ia tertabrak kereta pada tengah hari dan terluka berat, sampai-sampai tidak bisa bekerja lagi. Ketika kasus tersebut dibawa ke pengadilan, ia hanya diberi ganti rugi sebesar $650 dari perusahaan kereta—yang itupun tidak kunjung cair hingga akhirnya Cudjo mengikhlaskannya.

Tragedi kereta ini tidak hanya melanda Cudjo. Pada Bab XI, diceritakan bagaimana salah satu anak lelakinya, Ah-tenny, juga dengan nahas tewas tertabrak kereta yang sama sekali tidak berusaha untuk berhenti. Cudjo dan istrinya dilanda duka yang teramat sangat. Seorang anaknya lagi, Poe-lee, sangat geram melihat apa yang terjadi dan meminta Cudjo untuk menuntut pihak perusahaan kereta yang membunuh saudaranya. Namun, berkaca dari pengalamannya yang lampau, Cudjo hanya berkata:

Whut for? We doan know de white folks law. Dey say dey doan pay you when dey hurtee you. De court say dey got to pay you de money. But dey ain’ done it. I very sad.” (hal. 87)


Buku ini ditutup dengan potongan adegan di mana Hurston berpamitan dengan Cudjo untuk kembali ke New York. Cudjo membekali Hurston dua buah persik terbaik dari kebunnya dan melepas Hurston hingga gerbang. Cudjo barangkali sudah tidak lagi diperbudak. Ia memang telah menjadi orang merdeka di mata hukum. Namun demikian, dengan sistem hukum di Amerika Serikat yang dibangun dari rasisme, Cudjo bagaikan pohon yang terdiri dari dua macam kayu. Ia merdeka, namun tidak sepenuhnya.

“All these words from the sellers, but not one word from the sold.”

Saya beberapa kali harus berhenti membaca buku ini—hanya untuk sekadar menutupnya, menghela napas, dan sesekali menangis. Hurston telah membawa pembaca untuk memahami—kendati tidak sepenuhnya—carut-marut perasaan yang timbul sebagai akibat dari praktik perbudakan: rasa kebingungan, perih, amarah, duka, dan juga kesepian. Ketika narasi tentang perbudakan banyak diwarnai dengan kekerasan dan kekacauan—dari kapal kargo yang pengap hingga kerja tanpa henti di perkebunan—kita kerap lupa bahwa hidup menjadi budak sejatinya juga adalah pengalaman yang begitu sepi. Sebagaimana dituturkan Alice Walkers dalam Kata Pengantar buku ini: “We see a man so lonely for Afriam so lonely for his family …” (hal. xiii). Sayangnya, rasa kesepian ini tidak luntur begitu saja setelah perbudakan dilarang di Amerika Serikat. Alice Walkers lantas melanjutkan: “How lonely we are too in this still foreign land: lonely for our true culture, our people, our singular connection to a specific understanding of the Universe” (Ibid.). Kesepian ini terus diwariskan selama Amerika Serikat masih memandang orang-orang kulit hitam sebagai subjek yang asing.

Buku ini juga merupakan upaya Hurston untuk menghidupkan pengalaman dan narasi orang-orang seperti Cudjo dan menolak meratakannya dalam bentuk angka dan statistik yang hambar. Jutaan orang yang diperdagangkan dari Afrika ke Amerika Serikat bukanlah orang-orang yang sama. Mereka boleh jadi dilebur sebagai satu kelompok—“orang Afrika yang dijadikan budak”— namun masing-masing dari mereka adalah nenek buyut, kakek buyut, leluhur, moyang seseorang yang masih hidup hari ini. Mereka datang dari tempat yang berbeda-beda, menyimpan kisah yang begitu beragam, dan pengalaman mereka terlampau berharga untuk dilebur menjadi satu narasi yang seragam.

Kendati sudah lama ditulis, buku ini akan selalu relevan untuk dibaca selama rasisme terhadap orang-orang kulit hitam masih menjadi corak yang belum luntur dalam kehidupan bernegara di Amerika Serikat. Ada banyak sekali kejadian dalam Barracoon yang “terulang” dalam latar Amerika kontemporer: sekumpulan orang kulit putih memanggil seorang kulit hitam “monyet” dan “tak beradab”, institusi-institusi yang lepas dari jerat hukum setelah merenggut nyawa seorang kulit hitam. Maka, ketika orang-orang kulit putih dengan mudahnya menelepon 911 hanya karena seorang anak kulit hitam berdiri diam, kita tahu bahwa mereka telah terbiasa melihat tubuh berkulit hitam sebagai kriminal, liar, dan non-manusia.